Oleh: Azhar Rasyid
Alquran adalah kitab suci umat Islam. Sebagai firman Allah swt, ayat-ayat dalam Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui perantaraan Malaikat Jibril. Mekkah dan Madinah menjadi dua tempat di mana ayat-ayat Alquran diwahyukan selama 22 tahun, mulai dari tahun 610 hingga tahun 632. Setelah Nabi meninggal, dimulailah usaha mengompilasi ayat-ayat Alquran dalam bentuk tulisan.
Meninggalnya para penghafal Alquran di medan perang semakin menegaskan pentingnya usaha untuk mengabadikan Alquran dengan medium tulisan. Ayat-ayat Al Qur’an pun disalin ke permukaan cabang-cabang kayu palem bahkan batu. Usaha yang lebih sistematis untuk menulis dan mengompilasi ayat-ayat Al Qur’an dilakukan oleh seorang sahabat Nabi, Zaid bin Tsabit, bekerja sama dengan Khalifah Umar bin Khattab. Salinan demi salinan pun lahir.
Di beberapa bagian dunia, era menyalin Al Qur’an dengan tangan berakhir dengan kelahiran mesin cetak. Penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg di Eropa pada pertengahan abad ke-15 membawa era baru dalam usaha untuk menyebarluaskan informasi, pengetahuan maupun ajaran agama. Dengan sebuah mesin cetak yang bisa dipindahkan (movable type printing machine), salinan suatu tulisan bisa dibuat dengan lebih cepat, lebih jelas serta lebih banyak. Ini juga memungkinkan persebaran tulisan tersebut bisa lebih jauh karena publik lebih mudah mendapatkannya.
Untuk menyalin Al Qur’an dengan tangan membutuhkan waktu yang lama dan keahlian yang tinggi, belum lagi mengingat terbatasnya kertas di zaman dulu. Mesin cetak lalu mengubah cara bagaimana Al Qur’an disalin serta disebarluaskan ke jauh lebih banyak Muslim daripada yang bisa dijangkau oleh hasil salinan tangan.
Edisi pertama dari Al Qur’an yang dicetak—dan bukan lagi disalin tangan—hadir di Eropa di mana mesin cetak ditemukan dan banyak dipakai. Roma adalah kota di mana Al Qur’an edisi cetak pertama hadir di dunia, tepatnya tahun 1530. Di Hamburg, Jerman, lalu muncul edisi kedua cetakan Al Qur’an pada tahun 1694. Sebelumnya, Al Qur’an sebenarnya telah hadir di Eropa pada abad ke-12, dalam bentuk terjemahan Latinnya (yang dianggap masih bias dan tidak akurat), yang sebagian besarnya dilakukan oleh Robert of Ketton, seorang teolog sekaligus Arabis Inggris.
Di dunia Islam sendiri, sejarah pencetakan Al Qur’an dengan mesin tidak berjalan dengan mulus. Mesin cetak pada mulanya dipandang dapat mengubah relasi antara seorang Muslin dengan kitab sucinya. Dulu, penyampaian Al Qur’an umumnya dilakukan oleh orang-orang terpelajar yang memiliki ijazah, punya ingatan kuat dan tulisan yang bagus. Mereka membaca Al Qur’an ketika menjadi imam sholat serta menyalinnya dengan tangan dengan sangat hati-hati. Dengan kata lain, membaca dan menulis ayat-ayat Al Qur’an dilakukan dengan penuh keimanan. Oleh sebab itu, sejumlah sarjana Muslim menolak ketika ada keinginan untuk memperbanyak Al Qur’an dengan memakai mesin cetak, lantaran khawatir bahwa nilai kesakralan kitab suci akan berkurang apabila ia dicetak dengan mesin yang sama yang dipakai untuk mencetak buku biasa.
Tapi, lama kelamaan mulai muncul penerimaan terhadap ide bahwa mesin cetak bisa memberikan manfaat bagi kaum Muslim. Mesin cetak dapat membantu lebih banyak kaum Muslim untuk mengenal, membaca dan memahami kitab sucinya sendiri. Pada akhir abad kesembilan belas, mulai berkembang penggunaan mesin cetak, baik di pihak pemerintah maupun dari pihak swasta, untuk menggandakan Al Qur’an di kota-kota seperti Kairo, Istanbul, Beirut dan Damaskus. Fokus para ulama kala itu sudah bukan lagi soal apakah mencetak dan memperbanyak Al Qur’an diperbolehkan atau tidak, melainkan pada memastikan apakah mushaf yang dicetak itu isinya sudah akurat atau belum.
Sebuah catatan lain menyebut bahwa pada tahun 1787 sesungguhnya sudah ada sebuah Al Qur’an yang dicetak. Ini dikenal sebagai “edisi Mulay Usman” dan diterbitkan di St. Petersburg, Rusia.
Para ahli sepakat bahwa mesin cetak sebagai sebuah teknologi komunikasi telah merevolusi cara kaum Muslim dalam memahami Al Qur’an. Salah satunya adalah guru besar kajian Islam di University of Western Ontario, Ingrid Mattson, yang dalam bukunya, The Story of the Qur’an: Its History and Place in Muslim Life (2007), menyebut bahwa penggunaan mesin cetak adalah masa ketika untuk kedua kalinya sebuah inovasi dalam teknologi membuat Al Qur’an bisa diakses dengan lebih luas oleh lebih banyak lagi Muslim. Menurut dia, kali pertama adalah delapan abad silam, tatkala Al Qur’an telah dituliskan di kertas alih-alih di perkamen.
Di abad ke-20, di Mesir diperkenalkan sebuah standar baru dalam percetakan Al Qur’an, dan model Mesir ini lalu menjadi model yang banyak dipakai di dunia Islam. Ini dikenal sebagai Al Qur’an edisi Mesir, atau dikenal juga sebagai Al Qur’an edisi Raja Fu’ad, yang mengacu pada nama pemrakarsanya. Terbit pertama kali tahun 1925, edisi ini didasarkan pada Qiraat Ashim riwayat Hafs.
Terobosan datang dari Turki melalui seorang seniman kaligrafi terkemuka bernama Said Nursi. Ia tak hanya memperkenalkan percetakan Al Qur’an memakai teknik offset yang modern di zamannya, tapi juga penggunaan huruf-huruf yang bagus yang dibuat dengan tangan. Dicetak dan diterbitkan untuk pertama kalinya tahun 1947, sosok yang menuliskan Al Qur’an memakai kaligrafi yang indah ini adalah Hamid al-Amidi, seorang master kaligrafi ternama asal Turki yang dikenal juga sebagai gurunya para kaligrafer.
Di Indonesia, perhimpunan Muhammadiyah termasuk salah satu organisasi yang paling awal memperkenalkan penggunaan mesin cetak dalam menggandakan Al Qur’an. Pada tahun 1952, tiga tahun setelah kedaulatan Indonesia diakui oleh Belanda, Pengurus Besar Muhammadiyah, bekerja sama dengan Kementerian Agama RI dan sebuah perusahaan percetakan ternama asal Jepang, Kyodo Printing Co. Ltd., untuk mencetak Al Qur’an. Dengan kerja sama ini, Muhammadiyah berharap agar kaum Muslim Indonesia bisa mempunyai edisi Al Qur’an yang hurufnya jelas dan mudah dibaca, tidak mengandung kekeliruan, serta memiliki tanda bacaan yang sesuai tajwid. Yang tak kalah pentingnya, diharapkan agar kertas yang dipakai memiliki kualitas yang bagus sehingga lebih kuat dan awet.
Azhar Rasyid, Penilik sejarah Islam
Sumber: Majalah SM Edisi 10 Tahun 2019