REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim ahli Badan Legislasi (Baleg) DPR menjelaskan, rancangan undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) disusun untuk menjawab kegelisahan para korban kekerasan seksual. Kegelisahan itu khususnya dalam memperoleh keadilan.
"Untuk menjawab aspirasi masyarakat karena banyak korban kekerasan seksual yang kesulitan memperoleh keadilan dan malah mengalami kekerasan berikutnya. Bahkan stigma yang seharusnya tidak perlu mereka alami," ujar tim ahli Baleg Raisah Suarni dalam rapat panitia kerja (Panja) RUU TPKS, Selasa (16/11).
Ia menjelaskan, ada dua alasan mengapa korban kekerasan seksual sulit mendapatkan keadilan yang layak. Pertama, undang-undang yang ada saat ini sangat terbatas dalam mengatur kekerasan seksual.
"Sehingga, ada banyak jenis kekerasan yang tidak dapat diproses oleh penegak hukum," ujar Raisah.
Kedua, hukum acara yang tidak berpihak kepada korban. Ia menjelaskan fakta empiris yang ditemukan, sering sekali terjadi viktimisasi berikutnya dalam proses penyidikan dan pemeriksaan. "Serta pembuktian yang menyulitkan korban yang sejatinya menderita dan mengalami trauma," ujar Raisah.
RUU TPKS, kata Raisah, disusun menjadi RUU tindak pidana khusus dengan pertimbangan agar lebih fokus pada pelanggaran pidana kekerasan seksual. Hal ini untuk memudahkan penegak hukum dalam rujukan implementasi, tanpa mengabaikan pengaturan terkait pencegahan.
"Jadi RUU ini menjadi payung hukum pelanggaran kekerasan seksual yang diupayakan semaksimal mungkin melindungi korban," ujar Raisah.