Oleh : Nidia Zuraya, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Bisnis penerbangan sepertinya mulai menggeliat lagi seiring melandainya kasus Covid-19 di banyak negara. Produsen pesawat komersial pun mulai kebanjiran order.
Dua pekan lalu maskapai Akasa yang dimiliki oleh miliarder Rakesh Jhunjhunwala dilaporkan tengah melakukan pembicaraan dengan Boeing dengan nilai potensi kesepakatan yang mencapai 10 miliar dolar AS atau setara Rp 143 triliun (kurs Rp 14.300 per dolar AS). Kesepakatan ini diumumkan dalam Dubai Airshow yang berlangsung pada pekan ini, 14-18 November 2021.
Bahkan menurut seorang sumber anonim, Boeing akan mulai mengirim pesanannya sebanyak 10 pesawat pada paruh pertama tahun depan dan sisanya dalam 3 tahun ke depan.
Sementara rival Boeing, Airbus SE mencatat pesanan besar sebanyak 255 jet berbadan sempit di Dubai Airshow. Pesanan bernilai lebih dari 30 miliar dolar AS, belum beserta diskon, ini berasal dari Wizz Air Holdings Plc, Frontier Group Holdings Inc. dan dua maskapai berbiaya rendah lainnya yang sahamnya dimiliki oleh Indigo Partners LLC milik pengusaha Bill Franke.
Jika banyak perusahaan maskapai mulai bangkit kembali dan melakukan pemesanan armada baru, kondisi miris justru tengah dihadapi maskapai kebanggaan rakyat Indonesia, Garuda Indonesia Airlines. Saat ini kondisi Garuda Indonesia bisa dibilang sedang di bawah titik terendah.
Baca juga : Garuda Kurangi Rute, Slot Penerbangan Diisi Maskapai Lain
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengatakan model bisnis Garuda Indonesia sudah salah sejak awal. Erick menyebut kesalahan model bisnis sudah berlangsung sejak lama dan baru meledak saat ini karena efek pandemi.
Bahkan Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo menyebut Garuda Indonesia sudah bangkrut secara teknis. Hal ini tak lepas dari memburuknya kondisi Garuda yang selalu menderita kerugian sejak 2017.
Tercatat, ekuitas Garuda negatif sebesar 2,8 miliar dolar AS atau Rp 40 triliun per September 2021, dengan tambahan ekuitas negatif mencapai 100 juta dolar AS sampai 150 juta dolar AS atau Rp 1,5 triliun hingga Rp 2 triliun setiap bulan. Sementara utang Garuda kini mencapai 9,7 miliar dolar AS dengan aset sebesar 6,9 miliar dolar AS.
Salah satu kesalahan utama Garuda, menurut Erick, ialah memaksakan pembukaan rute penerbangan internasional yang justru merugikan perusahaan melalui penyewaan pesawat dengan beragam jenis pesawat. Sejak awal, ia menginginkan bisnis model Garuda dan Citilink kembali fokus menggarap pasar domestik yang besar seperti yang juga dilakukan oleh maskapai Amerika Serikat (AS).
Tak hanya karena kesalahan model bisnis, keterpurukan yang dialami Garuda juga karena perusahaan maskapai milik negara ini digunakan oleh sejumlah pihak untuk mencari keuntungan dari kesepakatan sewa pesawat. Kementerian BUMN mencatat sewa pesawat maskapai Indonesia paling banyak dan mahal di dunia, yakni mencapai 28 persen dari rata-rata dunia yang hanya enam persen pada biaya operasional.
Baca juga : Mantan Anggota Panja Sebut Ada Tekanan Saat Buat UU Ciptaker
Upaya penyelamatan