REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Satriawan Salim, Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Pengajar Labschool UNJ
Pandemi Covid-19 mengubah cara masyarakat berkomunikasi dan bersosialisasi, tak terkecuali interaksi dalam pendidikan. Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) menjadi solusi hampir dua tahun terakhir.
Meskipun begitu, intensitas upaya memulai pembelajaran tatap muka terbatas ditingkatkan di hampir seluruh daerah. Karakteristik pembelajaran masa pandemi, yaitu masifnya penggunaan teknologi digital dalam pembelajaran, membuat PJJ bergantung padanya.
Penggunaan teknologi digital menjadi kebutuhan pokok sekaligus solusi, yang "memaksa" guru, termasuk siswa dan orang tua, beradaptasi sehingga menjadi fakta kenormalan baru dunia pendidikan. Metode pembelajaran guru berubah drastis selama PJJ, biasanya klasik di sekolah, diganti belajar dari rumah menggunakan teknologi. Secara umum, metode PJJ terbagi tiga: dalam jaringan (daring), luar jaringan (luring), dan kombinasi.
Selama PJJ, mayoritas guru memilih metode PJJ daring yang mengandalkan infrastruktur digital, perangkat digital, kompetensi digital, dan keterlibatan. Infrastruktur digital, seperti jaringan internet dan base transceiver station (BTS), menentukan kualitas PJJ.
Namun, disparitas akses dan kualitas in ternet antardaerah tinggi. Kecepatan internet Indonesia pun masih rendah, di peringkat 121 untuk mobile internet dan peringkat 115 untuk fixed internet connection (Speedtest Global Index, 2021 & World Bank, 2020).
Ketersediaan perangkat digital, seperti komputer, laptop, dan gawai pintar termasuk kuota internet, menjadi penyebab PJJ banyak kendala karena tak semua siswa (bahkan guru) punya, khususnya keluarga miskin. Hasil survei menunjukkan, 20,1 persen siswa dan 22,8 persen guru belum memiliki perangkat teknologi informasi dan komunikasi (TIK) seperti di atas selama belajar daring (Kemendikbudristek, 2021).