REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Ledia Hanifa Amaliah, menilai persoalan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bukan hanya masalah prosedur. Namun ia juga melihat ada persoalan substansi yang harus dibenahi.
"Sehingga kedua perbaikan menjadi wajib dilakukan," kata Ledia kepada Republika, Kamis (2/12).
Sekretaris Fraksi PKS itu mengatakan pada praktiknya metode omnibus yang menurut pemerintah akan mengefisienkan pembahasan dan pelaksanaan UU menunjukkan kelemahan. Antara lain dalam proses harmonisasi pembuatan undang-undang dan kedisiplinan pemerintah untuk mengacu pada undang-undang dalam peraturan turunannya.
"Kedua, metode ini tidak mempertimbangkan konstruksi undang-undang asalnya yang diubah oleh UU Ciptaker. Sehingga UU asalnya tidak lagi memiliki 'ruh' asal muasal pembahasannya atau pencabutan pasalnya menyebabkan korelasi satu pasal dengan pasal lain di UU asalnya jadi hilang," ujarnya.
Selain itu ia melihat sejumlah substansi yang ada tidak berkesesuaian dengan tujuan UU Ciptaker yang disebutkan di Pasal 3. "Maka tentu harusnya diperbaiki," tegasnya.
Sementara itu Wakil Ketua Fraksi, Mulyanto, mengatakan sebelumnya PKS secara tegas menolak RUU Ciptaker baik secara proses pembentukan formil maupun dari aspek substansi materil. Ia melihat arahan MK terkait UU Ciptaker tersebut adalah untuk diperbaiki dalam aspek pembentukan formil dan juga untuk direview dan direvisi substansi yang kontroversial secara materil.
Ia berharap pembentukan UU secara formil maupun materil benar-benar sesuai dengan/dan memenuhi aspek filosofis, yuridis dan sosiologis.
"Sehingga energi kita tidak terbuang percuma, ketika UU yang kita hasilkan dibatalkan MK. Itulah sebabnya PKS menolak RUU Ciptaker baik pada saat pengambilan keputusan tingkat I maupun keputusan tingkat II," ungkapnya.