Oleh : Andri Saubani, Jurnalis Republika
REPUBLIKA.CO.ID, Pada awal November 2021, puluhan pasien berdatangan ke klinik dokter Angelique Coetzee, di Pretoria, Afrika Selatan (Afsel). Mereka yang mayoritas adalah remaja, datang dengan gejala yang tak biasa namun kemudian terkonfirmasi positif Covid-19.
Jika lazimnya seseorang yang terinfeksi Covid-19 akan memunculkan gejala seperti demam tinggi, batuk, dan atau hilangnya indera penciuman, gejala-gejala itu tidak dirasakan oleh pasien Coetzee. Kebanyakan dari pasien Coetze merasakan kelelahan yang hebat dan merasakan badan pegal-pegal, kecuali satu bayi berusia 6 tahun yang mengalami demam tinggi dan detak jantung yang cepat.
Sebagai dokter yang sekaligus ketua dari Asosiasi Medis Afsel, Coetzee langsung curiga dirinya sedang menangani pasien Covid-19 yang terinfeksi oleh varian baru Corona. Pada 18 November, ia pun melapor ke otoritas kesehatan Afsel. Sepekan setelah laporan Coetzee, ilmuwan di Afsel pada pada Kamis (25/11) mengonfirmasi temuan varian baru baru Covid-19 hasil whole genome sequencing dengan label B.1.1.529.
Pada Jumat (26/11), WHO menamai B.1.1.529 dengan Omicron dan menetapkannya sebagai variant of concern atau setara dengan varian Delta namun dengan lebih gampang menular. Omicron disebut memiliki konstelasi yang sangat tidak biasa dan memprihatinkan karena dapat membantu menghindari respons imun tubuh. Vaksinasi yang telah ada saat ini pun dikhawatirkan tidak akan terlalu manjur menangkal Omicron.
Premis awal para ilmuwan terhadap Omicron pun mengguncang dunia yang kemudian meresponsnya lewat efek domino pengetatan atau bahkan penutupan pintu-pintu internasional oleh beberapa negara. Indonesia pun ikut melakukan pengetatan terhadap pelaku perjalanan dari benua Afrika yang efektif berlaku sejak Ahad (28/11).
Respons segera dunia akan Omicron bisa dibilang wajar, meski WHO meminta negara-negara untuk tetap mengambil kebijakan pengetatan berbasis pada data. Varian Delta telah memberikan pengalaman pandemi terburuk sejauh ini dan membuktikan bahwa, varian yang lebih gampang menular lebih berbahaya daripada varian yang lebih mematikan tapi memiliki tingkat penularan (Rt) rendah.
Indonesia pun pernah merasakan bagaimana ganasnya varian Delta merajalela di Tanah Air. Yakni saat gelombang kedua infeksi Covid-19 menerjang pada Mei hingga Juli 2021. Saat itu lonjakan Covid-19 terjadi dari 35.470 menjadi 253.600 kasus hanya dalam tempo kurang dari dua bulan.
Saking banyaknya orang yang terpapar Covid-19 dan kemudian jatuh sakit mengakibatkan fasilitas-fasilitas layanan kesehatan (faskes) di Indonesia pun nyaris kolaps. Daerah-daerah dengan jumlah kasus aktif tinggi terpaksa mendirikan tenda-tenda darurat untuk merawat pasien yang sudah tak tertampung lagi di rumah sakit.
Lonjakan angka kematian pun saat itu pada akhirnya tak bisa dicegah, karena banyak pasien Covid-19 tak tertangani di rumah sakit atau terpaksa meninggal di rumah karena tidak kebagian stok oksigen cair. Kabar kematian yang diumumkan lewat pengeras suara di masjid atau mushala menjadi sesuatu yang jamak didengar warga, kala di tempat lain, para penggali kubur di TPU-TPU khusus Covid-19 bekerja siang malam menggali dan mengurug liang lahat.
Menurut data Satgas Penanganan Covid-19, gelombang kedua infeksi Covid-19 di Indonesia mencapai puncaknya terjadi pada 15 Juli 2021. Setelah serangkaian kebijakan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), kasus Covid-19 di tingkat nasional per 29 Agustus 2021 kemudian mengalami penurunan hingga 86,9 persen dan terus menurun hingga sekarang di mana sebagian besar provinsi berada pada status PPKM Level 1 atau level pembatasan kegiatan masyarakat yang paling longgar.
Kemunculan varian Omicron saat kegiatan masyarakat semakin longgar meski pandemi belum sepenuhnya berakhir, sebenarnya bisa juga dianggap sebagai hikmah. Omicron bak sebuah wake up call saat kesadaran masyarakat akan protokol kesehatan (prokes) saat ini kembali turun seiring penurunan status level PPKM dari waktu ke waktu. Datangnya Omicron sekarang juga sangat pas jelang momentum libur akhir tahun yang biasanya memicu lonjakan kasus.
Beruntung, tidak seperti Delta, Omicron hadir saat vaksin telah tersedia dan Indonesia menjadi salah satu negara yang cukup baik dalam pendistribusiannya. Hingga awal Desember ini, Satgas Penanganan Covid-19 mencatat jumlah total masyarakat yang mendapatkan dosis pertama sekitar 138 juta atau 67 persen. Kemudian yang mendapatkan dosis kedua di angka 95,5 juta atau 45,8 persen.
Sayangnya, alih-alih angka-angka di atas digenjot, laju vaksinasi Covid-19 di Indonesia saat ini justru sedang menurun. Menurut Kemenkes, penurunan terjadi karena banyak masyarakat menunda vaksinasi karena memilih vaksin merek tertentu, yakni Sinovac. Padahal, stok Sinovac sedang menipis setelah secara masif disuntikkan pada semester pertama 2021.
Sinovac sepertinya menjadi vaksin favorit masyarakat jika kita merujuk pada survei yang dilakukan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) baru-baru ini. Alasannya, faktor terbesar masyarakat di daerah yang tidak mau mengikuti vaksinasi lantaran takut mengalami efek samping atau KIPI.
Dengan tingkat efikasi yang lebih rendah dengan merek lain seperti Pfizer, Moderna, atau AstraZaneca, efek samping Sinovac memang sangat ringan atau bahkan tidak ada sama sekali. Sementara, masyarakat di daerah yang cakupan vaksinasinya rendah – menurut Mafindo – kadung ‘termakan’ hoaks bahwa efek samping dari vaksin selain Sinovac, mengarah ke efek berat bahkan mematikan.
Saya punya prediksi, jika nantinya Omicron benar-benar ditemukan dan menyebar di Indonesia, cakupan vaksinasi akan menjadi hal pembeda antardaerah. Tak seperti kala varian Delta mengamuk pada Juli-Agustus lalu di mana hampir semua provinsi merasakan keganasannya, kali ini daerah dengan cakupan vaksinasi tinggi akan tetap rendah kasus Covid-19-nya. Atau jika memang terjadi lonjakan positif Covid-19, daerah dengan mayoritas penduduknya telah divaksin, tidak akan mengalami membeludaknya pasien yang sakit dan harus dirawat di RS.
Menurut data Kemenkes, masih ada enam ibu kota provinsi yang hingga akhir November cakupan dosis satunya belum mencapai angka 70 persen. Enam ibu kota provinsi tersebut yakni Banjarmasin, Kalimantan Selatan; Padang, Sumatera Barat; Manokwari, Papua Barat; Gorontalo; Ternate, Maluku Utara; Mamuju, Sulawesi Barat.
Perlu kerja keras ekstra untuk pemerintah daerah di atas, meyakinkan warganya bahwa vaksin yang tersedia saat ini semuanya aman untuk disuntikkan. Toh, pemerintah pusat hingga kini masih bisa menjamin ketersediaan vaksin. Yang penting, masyarakat dibuat paham untuk jangan lagi pilih-pilih vaksin demi keselamatan diri dan sekitarnya.
Dengan vaksinasi yang disempurnakan dengan disiplin prokes, insya Allah ancaman gelombang ketiga infeksi dan serangan varian Omicron bisa kita hindari. Aamiin.