Senin 13 Dec 2021 06:46 WIB

Menyoal Pelabelan BPA, Siapa Butuh Opini Masyarakat?

.Penerapan Free BPA akan membuat biaya produksi semakin mahal.

Arzeti Bilbina Anggota Komisi IX DPR RI F-PKB mendesak pemerintah untuk segera menerbitkan aturan tentang larangan penggunaan Bisphenol A (BPA) dalam pembuatan wadah plastik makanan.
Foto: DPR
Arzeti Bilbina Anggota Komisi IX DPR RI F-PKB mendesak pemerintah untuk segera menerbitkan aturan tentang larangan penggunaan Bisphenol A (BPA) dalam pembuatan wadah plastik makanan.

Oleh : Ichsan Emrald Alamsyah, jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) saat ini tengah menyusun policy brief tentang pengkajian risiko Bisphenol A (BPA) dalam air minum kemasan atau AMDK. Sedari BPOM tampaknya sudah berhati-hati dalam mengeluarkan pernyataan agar tidak 'melukai' industri, terutama bagi industri makanan minuman. Oleh karenanya, dikutip dari Republika.co.id, ke depan akan tersusun policy brief pengkajian risiko BPA dalam AMDK dan penilaian kembali batas maksimal migrasi BPA pada kemasan galon plastik.

"Redaksinya nanti bisa berupa kalimat 'mungkin / dapat mengandung BPA' untuk galon yang menggunakan plastik polikarbonat," katanya ujar Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan BPOM, Rita Endang, Oktober lalu. Dia merujuk pada insiatif pelabelan BPA yang telah diadopsi sejumlah negara, termasuk di Amerika Serikat dan Perancis.

Namun, Rita Endang menitikberatkan bahwa saat ini paparan Bisfenol A (BPA) di Indonesia masih aman, termasuk untuk bayi, anak-anak, dan ibu hamil. BPOM sudah membandingkan dengan melihat standard yang disusun Otoritas Keamanan Makanan Eropa atau European Food Safety Authority (EFSA) dan dengan Peraturan Menteri Kesehatan nomor 28 tahun 2019 tentang Angka Kecukupan Gizi.

Memang sejak September, ada wacana BPOM akan melabeli semua produk makanan dan minuman Free BPA. Hal ini mencakup produk minuman kemasan seperti galon. Wacana ini pun menimbulkan pro kontra, ada yang senang dengan rencana tersebut seperti wakil rakyat dan YLKI, namun ada pula yang menolak keras seperti pengusaha isi ulang.

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi misalnya menyambut aturan tersebut. Ia mengaku sedari awal mendorong adanya kemasan pangan berbahan baku plastik yang makin ramah terhadap lingkungan, dan mempunyai standar keamanan bagi kesehatan yang makin tinggi serta zero impact terhadap kesehatan manusia.

Oleh karena itu, YLKI memberikan beberapa catatan penting terkait hal itu. Pertama, bagi pemerintah, sebaiknya agar dapat mengontrol dan mengawasi keamanan kemasan AMDK dan memberikan sanksi yang tegas jika ada produsen yang tidak melengkapi label keterangan keamanan kemasan.

Kedua, bagi konsumen, sebaiknya konsumen dapat mencari tahu lebih dalam mengenai label tara pangan dan kode plastik. Ketiga, bagi produsen sebaiknya produsen maupun distributor AMDK dapat mencantumkan label tara pangan dan keterangan kode plastik sebagai transparansi informasi keterjaminan mutu kepada konsumen.

Sementara itu, Arzeti Bilbina Anggota Komisi IX DPR RI F-PKB mendesak pemerintah untuk segera menerbitkan aturan tentang larangan penggunaan BPA dalam pembuatan wadah plastik makanan. Ia menegaskan bahwa, produsen wadah plastik harus memastikan produk yang mereka buat BPA Free.

Arzetti dalam hal ini mengingatkan sejarah penggantian label susu kental yang dulunya dianggap susu menjadi kental manis dan banyak Balita yang mengkonsumsinya. Menurutnya, setelah adanya desakan berbagai pihak terhadap produk tersebut, label susu kental berubah menjadi kental manis. Perlu diketahui, kadar gula mendominasi larutan kental manis tersebut sehingga kurang tepat sebagai pengganti susu.

Hanya saja, justru penolakan pertama wacana ini datangnya dari Pemerintah, khususnya Kementerian Perindustrian.  Kemenperin menolak pemberian sertifikasi atau labelisasi BPA Free pada kemasan pangan. Hal ini dikarenakan sertifikasi BPA justru menambah cost yang mengurangi daya saing Indonesia.

Direktur Industri Minuman Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar (Mintegar) Kementerian Perindustrian Edy Sutopo mengatakan, saat ini yang diperlukan itu yakni edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat terkait cara handling dan penggunaan kemasan yang menggunakan bahan penolong BPA secara benar. Jadi, bukan malah memunculkan masalah baru yang merusak industri pangan.

Soal merusak industri, Ketua Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait protes keras atas ungkapan tersebut. Arist menangkap pernyataan itu jelas tidak mementingkan kesehatan masyarakat. Utamanya, kata dia, bagi kesehatan bayi, balita dan janin pada ibu hamil yang menjadi kelompok usia rentan.

Arist menegaskan keengganan untuk memberikan pelabelan BPA ini sesungguhnya wujud melanggar hak anak untuk mendapatkan hidup sehat yang harusnya mendapatkan perlindungan kesehatan dari negara.

Terlepas dari rencana tersebut, tinggal masyarakat yang belum dipertanyakan pendapatnya. Bagaimana dengan persetujuan mereka terhadap wacana pelabelan BPA. Masyarakat tampaknya tidak perlu dipertanyakan karena sudah jelas selama ini orang tua lebih memilih untuk mencari botol atau peralatan makan yang tidak mengandung BPA. Sehingga sudah pasti masyarakat setuju dengan pelabelan tersebut

Terlepas dari itu, penulis sendiri sadar bahwa pelabelan BPA, sedikit banyak mempengaruhi citra produk minuman kemasan. Apalagi bila benar pelabelan itu diberlakukan maka ada penarikan besar-besaran produk minuman kemasan, khususnya produk galon.

Kenyataan ini tentu membutuhkan cost yang begitu besar. Yang pada akhirnya meningkatkan harga produk minuman kemasan.

Meski begitu kita perlu berkaca pada penyebaran Covid-19. Ketika ekonomi dijadikan panglima, sementara kesehatan dinomorduakan yang terjadi malah tsunami korban jiwa yang justru membebani APBN negara. Penulis tidak menyebut bahwa produk kemasan berbahaya, namun ada baiknya bila kesehatan dinomorsatukan. Pelabelan BPA sebaiknya benar-benar diberlakukan seperti halnya cap produk halal yang selama ini sudah ada.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement