Oleh : Andi Nur Aminah, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Pernah di suatu masa, saya bertemu dengan orang-orang yang istimewa. Dia seorang pemilik banyak medali yang dikumpulkannya dari ajang Special Olympic Indonesia (SoIna). SoIna merupakan organisasi di Indonesia yang mendapat akreditasi dari Special Olympics International (SOI) untuk menyelenggarakan pelatihan dan kompetisi olahraga bagi orang dengan tunagrahita di Indonesia.
Atlet tunagrahita atau sering kita kenal juga sebagai orang yang mengalami keterbelakangan mental, di ajang tersebut melaksanakan berbagai lomba. Saya pernah menyaksikan mereka berlatih di GOR Rawamangun, Jakarta Timur. Mereka kebanyakan menggeluti olahraga atletik.
Orang-orang spesial ini, jika dilihat sekilas tak berbeda dengan manusia normal lainnya. Namun saat beraktivitas, barulah terlihat dimana letak 'istimewanya' mereka.
Contohnya, saat lomba lari jarak pendek, seorang pelari sebut saja namanya Adi, berlari kencang bagaikan busur yang terlepas dari anak panahnya. Dia memerhatikan aba-aba dari pelatihnya yang berdiri di pinggir lapangan. Namun pada saat mendekati garis finish, Adi yang mampu berlari cukup kencang ini, tak menemukan kawan-kawannya sesama pelari berada di dekatnya.
Dia juga tak menemukan sosok pelatihnya yang biasanya mendampingi dengan kode-kode isyarat meski dari jauh. Mungkin karena bingung, dan melihat teman-temannya jauh di belakang, Adi lantas berbalik arah dan berlari kembali menuju ke garis star. Padahal, sebetulnya dia sudah nyaris tiba di garis finish. Bisa dibayangkan latihan ini menjadi kocar-kacir kan?
Jujur, saya tertawa menyaksikan kelucuan ini, sekaligus sedih menyadari keterbatasan mereka sehingga berbuat seperti itu. Namun semagat para penyandang disabilitas tunagrahita ini patut diancungi jempol.
Di waktu berbeda, agak mundur cukup jauh, saya teringat seorang teman pramuka masa kecil. Saya bertemu dengannya di atas KM Kambuna, yang akan membawa kami berlayar dari Makassar menuju Jakarta. Kami sama-sama akan mengikuti Jambore Nasional di Cibubur, Jakarta.
Namanya Husna. Wajahnya manis dan selalu tersenyum. Husna seorang tunawicara. Dengan terbata-bata dia mengeja namanya sambil memperkenalkan diri dengan bahasa isyarat. Ada beberapa yang saya pahami, namun selebihnya menerka-nerka.
Dari Husna saya belajar sedikit memahami bahasa isyarat. Itupun hanya selama dua hari, karena kami intens bertemu di atas kapal. Kami pun bertukar alamat, dan setelah Jambore usai, berlanjut menjadi sahabat pena.
Cerita lainnya, saya berkenalan dengan Anita, seorang tunarungu asal Padang. Dia mengikuti sebuah kelas video animasi yang dilaksanakan secara online, dan kebetulan saya menjadi adminnya. Saat berlatih, dia membuat video animasi ucapan Hari Raya Idul Fitri yang editannya cukup bagus. Sayangnya, video itu tidak dilengkapi suara ataupun musik.
Saya pun lantas menyarankan agar dia menambahkan musik di video yang dieditnya agar hasilnya lebih bagus lagi. Namun saya kaget membaca chat Whatsapp-nya. "Saya tidak bisa mendengar, tidak bisa pilih musik untuk video itu," ujarnya.
Sesaat saya terdiam, memikirkan kalimat terbaik apa yang pantas saya sampaikan agar dia merasa nyaman dan tidak tersinggung. Akhirnya, saya memintanya untuk membuat video yang menampilkan sosok dirinya menyampaikan ucapan selamat itu dalam bahasa isyarat. Selanjutnya, dilengkapi dengan teks narasi seperti yang disampaikannya dalam bahasa isyarat tadi.
Terus terang, bertemu dengan 'orang-orang spesial' ini membuat saya tak henti bersyukur dengan apa yang saya miliki sekarang. Punya pancaindra yang semuanya normal. Sementara ada orang yang dengan segala keterbatasannya, tetap semangat dan menghasilkan karya, serta menyampaikan ide dan gagasannya meski tak harus bicara.
Antara tunarungu dan tunawicara, ini saling berkaitan. Biasanya, mereka yang tunarungu juga akan menjadi tunawicara. Apalagi jika mereka mengalami tunarungu sejak lahir. Seseorang berpotensi terganggu kemampuan berbicaranya jika dia tak pernah mendengarkan suara-suara dari luar.
Hakikat berbicara sesungguhnya adalah proses komunikasi. Sebab di dalamnya terjadi pemindahan pesan dari suatu sumber ke sumber lain.
Berbicara secara umum dapat diartikan suatu penyampaian maksud (ide, pikiran, isi hati) seseorang kepada orang lain.
Saudara-saudara kita yang berbicara dengan cara mereka, tanpa suara, perlu diberi ruang dan perhatian lebih. Karena sesungguhnya, di balik kekurangan mereka, ada potensi-potensi terpendam yang perlu digali.
Tunawicara dan tunarungu jelas sekali memerlukan bahasa isyarat karena tidak bisa mendengarkan orang berbicara. Di Indonesia sendiri, bahasa isyarat berbeda-beda di setiap daerah. Di Indonesia dikenal istilah Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo), yakni bahasa isyarat yang berkembang langsung di masyarakat. Lalu ada juga Sistem Bahasa Isyarat Indonesia (Sibi). Sibu adalah bahasa isyarat yang memiliki struktur bahasa yang sama dengan bahasa Indonesia, dan ini dipakai dalam bahasa formal di Sekolah Luar Biasa (SLB).
Para psikologi kognitif, mengatakan bahasa sebetulnya tidak hanya melalui perantara suara atau percakapan pada umumnya. Bahasa pun bisa melalui perantara simbol (sebagaimana dalam kata-kata tertulis atau isyarat-isyarat fisik). Jadi tak ada manusia yang tak bisa berbicara. Hanya saja mereka tak bisa berbicara melalui mulutnya, namun mereka tetap punya potensi berbicara, dalam kondisi bagamanapun.
Berbicara tanpa suara, itulah linguistik nonverbal dimana seluruh anggota tubuh bisa menjadi isyarat simbolik. Misalnya seperti isyarat tangan, gerakan kepala, atau postur tubuh dan kaki. Selain dari isyarat fisik, berbicara lebih luas lagi bisa dengan menggali potensi seperti menulis, berkarya di bidang kreatif bahkan berupa film.
Karena berbicara itu, yang utama adalah penyampaian ide dan gagasannya. Lewat saluran manapun itu, jika ide dan gagasannya tersampaikan, artinya tujuan berbicara itu pun sudah terlaksana.