Jumat 24 Dec 2021 08:59 WIB

Cerita Kegagalan Politik Baliho

.Pemasangan baliho sebagai ajang memperkenalkan diri justru berbalik menjadi bumerang

Baliho kepak sayap kebhinekaan Puan Maharani terpasang di Jalan Wates, Yogyakarta, Rabu (11/8). Beberapa baliho Puan Maharani di Yogyakarta terpasang di sudut Kota Yogyakarta.
Foto: Wihdan Hidayat / Republika
Baliho kepak sayap kebhinekaan Puan Maharani terpasang di Jalan Wates, Yogyakarta, Rabu (11/8). Beberapa baliho Puan Maharani di Yogyakarta terpasang di sudut Kota Yogyakarta.

Oleh : Agus Rahardjo, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Pada Agustus 2021, Indikator Politik Indonesia merilis survei soal elektabilitas kandidat Pilpres 2024. Dalam paparan surveinya, Indikator Politik Indonesia mendapati satu temuan yang menunjukkan bahwa kepopuleran belum tentu berdampak bagus terhadap kesukaan publik.

Saat itu, Indikator Politik Indonesia menemukan, naiknya kepopuleran Ketua DPR Puan Maharani di mata publik atau responden. Hal itu bisa dijelaskan karena saat itu, baliho Puan sudah bertebaran di setiap wilayah. Namun, politik baliho dengan narasi ‘Kepak Sayap Kebhinnekaan’ Puan menurut Indikator Politik Indonesia justru membuat tingkat kesukaan masyarakat terhadap putri Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri tersebut merosot.

Elektabilitas Puan setelah politik baliho dilakukan hanya di angka 0,4 persen. Padahal, pada April, elektabilitas Puan di angka 1,1 persen. Sementara, saat survei bulan April, keterkenalan Puan sekitar 50 persen, kemudian naik pada Agustus menjadi 60 persen. Pada hasil survei lembaga Charta Politika yang dirilis Senin (20/12) lalu, elektabilitas Puan masih di angka 0,8 persen. Jauh di bawah Ganjar yang meraih 25,8 persen.

Dari temuan ini, seharusnya Puan memperbaiki cara menarik hati masyarakat saat mengenalkan diri. Direktur Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi pernah menyampaikan pesan. ”Mbak Puan untuk lebih penetratif lagi atau mungkin harus pakai pesan yang lebih baik,” tuturnya soal politik baliho Puan Maharani.

Politik baliho, bukan cara ampuh mendekati masyarakat. Namun, Ketua DPR dan tim yang ada di belakangnya seperti tutup mata dengan temuan survei Indikator Politik Indonesia. Politik baliho, lagi-lagi dipakai bahkan di tengah masyarakat terdampak erupsi Gunung Semeru.

Meskipun dengan narasi berbeda, politik baliho tetaplah politik baliho. Kata-kata indah ‘Tangismu, tangisku. Ceriamu, ceriaku. Saatnya bangkit menatap masa depan’ justru dinilai sebagian masyarakat tak etis. Terlebih, foto yang ditampilkan adalah sosok Puan dengan senyumnya menggunakan background kumpulan masyarakat yang mungkin digambarkan sebagai pengungsi.

Dari cerita salah seorang relawan pengungsi di Lumajang, Jawa Timur, baliho Puan terpajang sebelum kedatangan Ketua DPR itu untuk menyalurkan bantuan awal pekan ini. Berdasarkan pengakuan salah seorang warga Desa Sumberwuluh, Kecamatan Candipuro, Lumajang, baliho Puan lengkap dengan logo ‘Relawan Puan Maharani’ terpasang tiap 30 meter di sepanjang jalan dari Kantor Kecamatan Candipuro hingga Balai Desa Sumberwuluh.

Pemasangan baliho di tengah lingkungan warga terdampak erupsi Gunung Semeru inipun menuai kritik. Betul, Puan jadi semakin terkenal, tapi keterkenalannya tak menuju pada kesukaan masyarakat. Puan seharusnya bisa lebih bijak untuk mendongkrak tingkat kesukaan masyarakat kepada dirinya kalau ingin menyaingi elektabilitas sesama kader PDIP Ganjar Pranowo yang kini menjadi Gubernur Jawa Tengah.

Baliho Puan seperti menjadi boomerang yang bisa menyerang balik elektabilitasnya sendiri.

Bagaimanapun, harus ada perubahan strategi sebelum 2024 agar Puan bisa bersaing dengan Ganjar dan diusung PDIP sebagai calon presiden. Saat ini, elektabilitas Puan masih jauh tertinggal dari Ganjar yang tak perlu mempraktekkan politik baliho.

Jika mengadopsi cara Menteri Sosial Tri Rismaharini yang sering direkam saat marah-marah, Puan juga bisa direkam saat memarahi relawannya agar biaya pembuatan baliho bisa disalurkan membantu warga terdampak bencana. Jika video itu viral, bisa lebih memancing simpati masyarakat dibanding memasang wajah dengan senyuman dan kata-kata ‘Tangismu, tangisku. Ceriamu, ceriaku.’

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement