Senin 27 Dec 2021 16:11 WIB

Gus Yahya, PBNU, dan Metaverse

Gus Yahya diharapkan bisa mengembalikan relevansi organisi Islam di dunia digital.

Katib Aam PBNU Yahya Cholil Staquf menghadiri pembukaan Muktamar Nahdlatul Ulama ke-34 di Pondok Pesantren Darus Sa
Foto: ANTARA/Hafidz Mubarak A
Katib Aam PBNU Yahya Cholil Staquf menghadiri pembukaan Muktamar Nahdlatul Ulama ke-34 di Pondok Pesantren Darus Sa

Oleh : Abdullah Sammy, Jurnalis Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Selamat kepada keluarga besar PBNU yang telah sukses menyelenggarakan Muktamar di Lampung. Muktamar menetapkan KH Yahya Staquf sebagai Ketua Umum PBNU masa khidmat 2021-2026.  

Sebagai sosok intelektual Muslim yang memiliki basis tradisi yang kuat, besar harapan umat kepada mantan juru bicara Gus Dur ini. Optimisme bahwa NU akan mampu memberi warna baru bagi perkembangan peradaban Islam. 

Sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, bahkan di dunia, NU ibarat mercusuar bagi perkembangan umat. Di tengah arus besar disrupsi lingkungan dan teknologi, peran NU jadi semakin vital. Bagaimana peradaban Islam memandang peradaban baru, seperti metaverse, jadi salah satu contoh dari respons terhadap disrupsi itu. 

Dunia baru digital, seperti metaverse, tentu akan memunculkan banyak goncangan dalam peradaban manusia. Perubahan ini menyimpan potensi sekaligus ancaman yang mesti direspons Islam.

Dengan kualitas serta pengaruhnya, NU punya peran penting untuk merespons lompatan peradaban digital tersebut. Namun pertanyaannya masih pentingkah peran organisasi di tengah kehidupan masyarakat era digital yang semakin individual?

Terkait pertanyaan ini, ada pernyataan menarik yang disampaikan Gus Yahya pada 2020. Dalam sesi peluncuran bukunya berjudul Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama, Gus Yahya menyinggung relevansi organisasi yang semakin memudar di tengah masyarakat. 

Secara tidak langsung, Gus Yahya menyinggung potensi disrupsi pada eksistensi organisasi di era kini. Menurut Gus Yahya, mulai muncul gejala masyarakat tidak membutuhkan lagi organisasi. Semua bisa bergerak sendiri, tanpa jalur organisasi. 

Apa yang disampaikan Gus Yahya merupakan fenomena empiris yang terjadi di berbagai organisasi, termasuk organisasi Islam. Disrupsi teknologi menghadirkan disrupsi pula pada organisasi. Ini membuat peran yang selama ini dimainkan organisasi jadi tergantikan. 

Sebagai contoh, jika dahulu saluran konsolidasi untuk kegiatan membutuhkan peran organisasi, kini peran itu bisa langsung dilakukan individu via whatsapp atau media sosial. Tak pelak kini  semakin jamak ulama membawa benderanya pribadi, tak lagi dengan bendera ormas. 

Otorisasi individual ini yang kerap menjadi masalah. Seorang jadi semakin bebas memakai label ulama, tanpa kontrol. Hanya dengan model ponsel dan sorban, siapa pun bisa menjangkau umat. 

Apa yang terjadi dalam organisasi Islam bisa diibaratkan dengan toko retail di era digital. Dahulu, pemilik usaha berusaha keras untuk menjajakan barangnya di toko retail. Dan untuk bisa memasukkan barangnya ke retail tidak mudah dan murah. Kontrolnya ketat. 

Namun digitalisasi mendisrupsi semua itu. Toko retail terdisrupsi aplikasi online. Semua kini jadi bisa berdagang via online shop atau media sosial. Efek positifnya, semua jadi lebih murah dan mudah. Tapi efek buruknya kualitas dan kontrol produk semakin lemah. Akibatnya banyak penipuan atau barang palsu. 

Pengibaratan toko retail itu sama dengan ormas Islam di era digital kini. Akibat kemajuan teknologi, individu bisa bergerak sendiri berbicara agama secara lebih 'murah' dan mudah via media sosial. Namun efek negatifnya semakin marak ajaran atau pemikiran menyimpang. 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement