REPUBLIKA.CO.ID, DONGGALA -- Menjadi guru adalah panggilan hati. Bila tak ikhlas, maka pengabdian yang sudah sulit, akan semakin berat untuk dijalani. Inilah prinsip berjuang yang dipegang teguh Tugiyo, Kepala SD Negeri 15 Sojol, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah.
Sudah lebih 30 tahun mengabdi, guru kelahiran Blora Jawa Tengah ini tak pernah patah semangat untuk terus menyalakan asa bagi anak-anak didiknya wilayah Sojol. Alih-alih sudah mulai merasakan hidup nyaman sebagai salah satu guru ASN paling senior, Tugiyo justru memilih berpindah tugas di wilayah Satuan Pemukiman (SP) Transmigran yang berlokasi di wilayah perkampungan dalam dan perbukitan.
Dengan keterbatasan jumlah guru yang kini hanya tersisa empat orang, Tugiyo akhirnya harus merangkap sebagai guru kelas. Bukan hanya medannya yang berat, dinamika sosialnya justru jauh menantang. Kebhinekaan latar belakang suku, budaya, dan agama harus dikelola agar tidak menimbulkan riak-riak perpecahan.
Peserta didik yang berjumlah 63 siswa, selain merupakan warga transmigran yang berasal dari Jawa, Bali, dan Bugis, banyak juga yang merupakan anak-anak pribumi asli, yakni Suku Pendau atau Suku Anak Dalam. Selain faktor keterbatasan ekonomi, kesadaran untuk bersekolah juga masih terbilang rendah.
Fasilitas yang serba minim, makin diperberat dengan ketiadaan sinyal dan kondisi listrik yang sering padam. Walaupun demikian, impian untuk bisa memperbaiki kualitas sekolah masih terus menyala-nyala.
Di kecamatan tetangga, wilayah Sojol Utara, jarak dua jam dari sekolah Tugiyo, terdapat kisah yang tak kalah memilukan. Yakni Jamil, Kepala SDN 4 Sojol Utara, harus bersabar dengan kondisi peserta didik yang kini hanya berjumlah 18 orang saja. Sudah beberapa tahun terakhir, pendaftar di sekolah ini kian menyusut. Bukan tak lagi favorit, tapi jumlah warga di perkampungan sekitar sekolah memang terus-menerus berkurang.
Dulu, wilayah perkampungan tersebut sebetulnya terbilang makmur dengan sumber daya pertanian dan perkebuan. Tapi kini, perkampungan tersebut seperti desa yang mati. Berangsur-angsur penduduk usia produktif mulai berpindah membuka ladang-ladang pertanian baru di daerah lain. Akibatnya, sekolah yang dipimpin oleh Jamil turut terkena imbasnya.
Seperti dalam siaran pers, dua kisah di atas merupakan gambaran kecil dari kondisi sekolah-sekolah yang terpilih menjadi sasaran Program Organisasi Penggerak (POP) yang dilaksanakan oleh Sekolah Guru Indonesia (SGI) LPI Dompet Dhuafa di wilayah Donggala, Sulawesi Tengah. SDN 15 Sojol dan SDN 4 Sojol Utara adalah dua dari empat sekolah dasar yang mendapatkan kesempatan untuk kegiatan kunjungan monitoring dan evaluasi (monev) pada tanggal 18-20 Desember 2021 yang lalu.
Tujuan dari monev perdana ini adalah untuk mengetahui perkembangan awal dari proses kegiatan POP SGI Kabupaten Donggala yang dipusatkan di dua kecamatan yakni Sojol dan Sojol Utara. Pada tahap awal ini, Program ini memiliki fokus untuk melakukan perbaikan kualitas pembelajaran melalui manajemen kelas yang sehat dan kolaboratif.
Walau baru berlangsung selama dua bulan, namun semangat untuk menata ulang ruangan kelas sudah mulai nampak perubahannya. Pelan-pelan tapi konsisten, para guru sudah mulai aktif untuk mengubah wajah kelas ajarnya dengan display ruangan yang menarik serta ditambah dengan pojok baca setiap kelasnya. SDN 15 Sojol dan SDN 4 Sojol Utara, yang semula hanya sekolah "kampung", telah mulai bergerak menuju sekolah yang lebih terbuka dengan segala macam gagasan perubahan.
Melalui bimbingan dan pendampingan intensif dari para trainer SGI, yakni dipimpin oleh Syarief dan Rosmin, para guru tidak hanya mendapatkan pelatihan yang bersifat teoritis, namun lebih banyak mendapatkan keterampilan yang lebih praktis dan aplikatif.
Baik guru maupun kepala sekolah yang mengikuti program ini mengaku belum puas dengan pelatihan dan bimbingan yang telah diberikan. Semua berharap agar POP ini bisa terus berlanjut dan masih didanai oleh Kemdibudristek.
Gerakan perbaikan baru saja dimulai, beberapa kebiasaan baru sudah mulai terlihat perubahannya. Amat disayangkan bila program ini tiba-tiba menghilang. Perbaikan kecil namun konsisten tentu lebih berdampak ketimbang perubahan besar namun hanya terasa hangat di awalnya saja.