REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Manfaat teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) bisa berdampak bagi berbagai sektor industri dan kepentingan. Tak terkecuali, terhadap potensi ekonomi suatu negara.
Saat ini, China dan AS merupakan dua negara yang memiliki kekuatan luar biasa dalam urusan pengembangan teknologi AI. Namun, menurut CEO Sinovation Ventures Kai-Fu Lee, kekuatan mereka sebenarnya sedikit berbeda.
Menurut Lee, AS saat ini cenderung lebih kuat di area perusahaan komersial. Hal ini terlihat dari sepak terjang perusahaan-perusahaan teknologi asal AS, seperti pengembang perangkat lunak C3 AI, dan Palantir yang juga perusahaan perangkat lunak dan berfokus di bidang analisis big data. Di sisi lain, China sekarang menunjukkan banyak kemajuan dalam robotika, terutama untuk manufaktur dan warehouse.
"Kedua negara sama-sama mengembangkan perusahaan besar dalam kendaraan otonom, perawatan kesehatan, dan internet, tetapi sebagian besar perusahaan tersebut tidak bersaing satu sama lain karena kecenderungan geopolitik saat ini," ujar Lee menjelaskan dalam wawancara dengan Bloomberg, akhir November 2021.
Menurutnya, kedua negara yang memiliki perusahaan AI luar biasa ini, memanfaatkan kekuatan yang masing-masing mereka miliki, yaitu perangkat lunak enterprise di AS dan manufaktur di Cina. Lee juga melihat, AS dan China memiliki titik fokusnya yang berbeda dalam pengembangan teknologi AI.
Apabila perusahaan AI China, kata Lee, lebih berfokus di dalam negeri. Jika mereka pergi ke luar negeri, mereka juga akan lebih cenderung pergi ke negara-negara yang memiliki hubungan komersial yang kuat dengan China.
Kemungkinan negara-negara itu, adalah Asia Tenggara, Timur Tengah, Afrika, dan Amerika Selatan. Sedangkan, AS akan cenderung memiliki pengaruh lebih pada area tradisional, seperti negara-negara berbahasa Inggris dan Eropa, termasuk juga Jepang.
"Jadi, saya pikir setiap negara secara alami akan pergi ke daerah di mana ia memiliki beberapa keuntungan atau memiliki keterbatasan yang lebih sedikit," katanya.