Oleh : Agung Sasongko, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Marcelo Bielsa begitu emosial usai Leeds United mengalahkan Burnley 3-1 di Ellan Road, beberapa waktu lalu. Begitu girangnya, hingga sejumlah pengamat menilai seleberasi si Gila melebihi apa yang dilakukannya saat Leeds promosi ke Liga Primer.
Sejatinya kemenangan tersebut tak beda dengan gaya Leeds di musim lalu. Tiga gol Leeds malam itu lahir dari gaya permainan Leeds yang identik dengan pressing ketat dengan serangan balik yang cepat. Tidak istimewa sebenarnya, namun entah mengapa Bielsa terlihat emosional sekali malam itu. Usai laga, pelatih asal Argentina itu memeluk asistennya Pablo Quiroga begitu erat
Kalau melihat dari rentetan penampilan Leeds ke belakang, wajar Bielsa begitu emosional. Sepanjang musim ini, Leeds tampil melempem. Patrick Bamford yang diandalkan musim lalu, harus banyak menepi. Efeknya adalah Leeds tidak memiliki penyerang murni. Tylor Roberts yang digadang mem-back up Bamford jauh panggang dari api. Rodrigo pun angin-anginan.
Improvisasi gelandang Leeds yang moncer musim lalu juga mati angin. Rapinha yang didaulat menjadi titik tumpu serangan seperti menanggung beban berat. Tidak diimbangi dengan penampilan konsisten Jack Harrison ataupun Junior Firpo.
Cideranya Kalvin Phillips memang sedikit terobati dengan performa gigih Adam Forshaw. Selebihnya skuat Leeds berisi pemain muda seperti Joe Gelhart, Sam Greenwood dan lainnya masih butuh waktu berkembang.
Di lini belakang, Bielsa terpaksa mengutak-atik formasi belakang lantaran cederanya Lee Cooper. Selanjutnya bergantian cedera, Pascal Struijk, Robin Koch, dan Diego Llorente. Beruntung, Luke Ayling sudah pulih dari cedera sehingga mengurangi kecemasan Bielsa soal lini pertahanan The Whites.
Yang pasti, dalam beberapa laga penting, termasuk ketika kalah dari Arsenal. Banyak kesalahan minor dilakukan para pemain leeds. Celakanya, kesalahan minor itu justru membuat Leeds harus terdampar di ambang jurang degradasi.
Alhasil beban keseluruhan penampilan buruk Leeds ini berada di pundak si Gila. Dengan memasuki tahun baru, yang artinya paruh musim telah berjalan, Leeds belumlah aman dari ancaman degradasi. Selisih lima poin dengan empat klub di bawahnya sudah menjadi alarm darurat Leeds.
Jadi tak heran, kemenangan atas Burnley menjadi pelipur lara si Gila usai Leeds babak belur pada laga-laga sebelumnya. “Ya lega tentu saja,”komentar Bielsa saat ditanya situasi Leeds.
Dalam sesi wawancara tersebut, Bielsa mengakui penampilan buruk Leeds tidak merusak moodnya. Justru ia siap bertanggungjawab dengan penampilan buruk anak asuhnya. “Saya tidak mengabaikan situasi yang kami hadapi. Saya juga tidak mengabaikan tanggung jawab saya. Namun itu tidak mempengaruhi suasana hati saya,” katanya.
Pada paruh kedua ini, Leeds harus tampil pincang karena cedera dan badai covid. Jelas ini menjadi kerugian dari upaya klub untuk tampil kompetitif di Liga Primer sejak promosi dua tahun lalu. Dengan skuat minim jelas bukanlah hal yang mudah bagi Bielsa untuk menjawab sindrom tahun kedua yang memang jadi momok pagi klub promosi Liga Primer.
Catatan lain, Leeds adalah klub terlama Bielsa yang dilatih Bielsa. Sebagian pundit sepak bola melihat fakta ini mengakui kesulitan untuk memetakan racikan strategi Bielsa. Yang pasti, mereka masih mengkritik strategi Bielsa yang membuat para pemainnya bertumbangan akibat cedera. Strategi yang juga membuat Leeds masih rentan dijebol lawannya dengan mudah karena lini pertahanan yang terbuka.
Belum lagi catatan gol Leeds musim ini sangat buruk. Leeds hanya mencetak 17 gol dari 17 pertandingan dengan perbandingan kebobolan 14 gol dalam 13 pertandingan sebelum laga terakhirnya, ini bukanlah statistic yang baik. Catatan mengerikan itu sangat mungkin bertambah apabila Bielsa masih memaksakan menyerang tapi membiarkan lini pertahanan terbuka.
Jadi, tak heran, sedikit suara sumbang mulai mempertanyakan metodenya. The Guardian bahkan mempertanyakan apakah proyek Marcelo Bielsa berjalan dengan skuat hanya tersisa setengah dari skuat utamanya.