REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Museum Virtual Bangladesh adalah museum pertama sejenis ini di kawasan Asia Selatan. Tujuannya adalah menjaga kelestarian bangunan bersejarah lewat restorasi digital.
Masjid 60 kubah di Bagerhat, sebuah distrik di Barat Daya Bangladesh, sebetulnya memiliki 81 kubah. Namun, masjid itu diberi nama Masjid 60 Kubah. Gayanya disebut Tughluk.
Dengan realita virtual, sekarang semua orang bisa merasakan bagaimana berjalan di dalam koridor-koridornya yang gelap dan serasa muram, dan ibaratnya dikelilingi hutan dari 60 pilar langsing dan dinding tebal.
Ashek E Elahi Auni, direktur manajer Museum Virtual Bangladesh menjelaskan, di halaman utama situs, bisa dilihat, beberapa area dispesifikasikan sebagai area yang bisa dicapai lewat teleportasi.
“Katakanlah, saya ingin pergi ke Masjid 60 Kubah, maka saya akan memilih itu dan teleportasi ke sana. Kemudian saya akan mendarat di depan masjid dan bisa masuk ke dalamnya,” kata Auni.
Orang juga bisa mendarat di sekitar masjid, bahkan ke atapnya, dengan cara teleportasi yang dikontrol tangan.
Belakangan ini, museum virtual itu dapat banyak perhatian di Bangladesh, karena jadi yang pertama di sebuah negara Asia Selatan. Para pengembangnya mendapatkan ide ini, setelah menyadari bahwa bangunan-bangunan bersejarah di negara itu semakin kehilangan keberadaannya di masyarakat.
Ahamed Jaman Sonjib, CEO dan pengembang Museum Virtual Bangladesh mengungkap, ide museum virtual datang tahun 2017. Ketika itu, dia berkunjung ke kota tua Panam City di Banglades, dan melihat kondisinya yang menyedihkan. Dia lantas berpikir: “Tempat ini pasti lenyap tidak lama lagi. Apa yang bisa kita lakukan?”
Kemudian ia mendapat ide untuk mengadakan restorasi secara digital. Teknologi realita virtual waktu itu masih sangat baru. Kemudian sekelompok pengembang memulai perjalanan restorasi digital yang tidak mudah. Mereka mengumpulkan sejumlah besar data, berkonsultasi dengan pakar, dan akhirnya membuat simulasi.
Ahmed Zaman Sanjib, CEO pengembang Museum Virtual Bangladesh bercerita tentang apa saja yang harus mereka perhitungkan. “Bagaimanakah penampilan Masjid 60 Kubah 600 tahun lalu? Tujuan utama kami adalah mencari tahu itu. Tantangan pertama kami adalah mengumpulkan data.”
Ia dan rekan-rekannya berusaha mengumpulkan data sebanyak mungkin. Kemudian mereka melakukan pembersihan dan penyortiran.
Dari data sebenarnya, mereka kemudian menciptakan simulasi. Setelah itu mereka membuat 'loop' yang mengikutsertakan model tiga dimensional, pemindaian data dan lain-lain. Kemudian mereka menunjukkan hasilnya kepada sejumlah ahli sejarah dan arsitek. Mereka lalu memberikan opini. Setelah itu mereka membuat 'loop' versi terakhir.
Versi beta museum virtual ini sudah ada. Peluncuran pertamanya direncanakan tahun 2022. Ashek E Elahi Auni mengatakan, “Ini pengalaman fantastis. Kami sudah hampir mencapai realisasinya. Masih ada beberapa hal yang harus dikerjakan, tapi kami berharap bisa mencapai tujuannya dalam waktu dekat.”
Sejarah terulang lagi di museum virtual Bangladesh. Dengan museum ini, orang bisa mengadakan perjalanan ke masa di ratusan tahun lalu, dan membayangkan hidup di masa itu.
sumber: https://www.dw.com/id/museum-virtual-bangladesh/a-60176726