REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK)-Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) dianggap menjadi salah satu jalur pilihan mereka yang bercita-cita untuk masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) walaupun diwarnai persaingan relatif kompetitif khususnya untuk jurusan-jurusan populer. Hal ini salah satunya karena PTN masih lebih diminati dibandingkan lembaga pendidikan tinggi lainnya, baik karena nilai akreditasinya, maupun karena keterjangkauannya dari sisi biaya.
Persaingan pada program studi PTN pun menyisakan dua hasil yakni lulus dan gagal. Mereka yang gagal, umumnya disebabkan berbagai hal di luar faktor dirinya semisal sakit. Satu di antaranya ada jurang antara kemampuan dan jurusan di perguruan tinggi yang dipilih saat ujian.
VP Marketing Ruangguru, Ignatius Untung Surapati berpendapat, saat memutuskan memilih jurusan tertentu dengan pesaing yang banyak, terkadang anak tak mengukur kemampuan diri. Komitmen yang dia punya juga tak tinggi sehingga berujung kegagalan.
"UTBK ada strategi, anak-anak mau masuk salah satu jurusan yang peminatnya banyak, pesaingnya banyak. Jadi, maunya tinggi tetapi komitmennya enggak begitu tinggi sehingga akhirnya gagal," kata dia dalam sebuah konferensi pers virtual, Selasa (11/1/2022).
Menurut Untung, bila pada nantinya anak bisa mengukur kemampuannya, mengatur kembali pilihan jurusan bisa dilakukan. Misalnya, memilih jurusan dengan tingkat persaingan yang tidak terlalu tinggi, namun sesuai dengan minatnya.
Memilih jurusan yang sama di kampus berbeda dari pilihan awal juga bisa menjadi jalan keluar saat anak kembali mengikuti ujian pada kesempatan lain. Tak hanya perkara kemampuan, kebiasaan menunda-nunda belajar juga bisa menjadi penyebab kegagalan dalam ujian.
Untung mengatakan, orang cenderung berorientasi pada tujuan jangka pendek sehingga mudah sekali melihat apa yang ada di depan matanya. Terkadang, pilihan untuk main bersama teman seperti naik gunung yang tinggal menghitung jam lebih menarik ketimbang mempersiapkan diri untuk UTBK yang masih beberapa bulan mendatang. Selain itu, anak-anak juga cenderung tidak bisa menjaga konsistensi semisal dalam hal motivasi, ditambah tak ada sosok yang bisa mengajari sehingga kemampuan belajar mereka pun kecil.
Pada akhirnya, motivasi yang mungkin awalnya tinggi perlahan menjadi mulai turun. Penyebab lainnya, menurut Untung, yakni faktor dukungan dari orang tua dan keluarga pada anak. Orang tua disarankan memberikan opsi pada anak terkait pilihannya, bagaimana menjalaninya dan di sisi lain orang tua memberi pandangan mereka.
Pada dasarnya, anak bisa mengambil keputusan yang baik walau tidak sempurna ketika informasi dia miliki. Hanya sayangnya, tak semua anak memiliki wawasan yang dia perlukan.
"Tugas orang tua memberi wawasan. Ketika wawasan sudah diberikan dan dia memilih kalau good enough buat orang tua yasudah, kalau belum orang tua bisa menginfluence. Seringkali cara memanage ekspektasi dan support tidak match sehingga anak stres dan jadi gagal," papar Untung.