REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ridwan Saidi, Politisi Senior, Sejarawan, dan Budayawan Betawi.
Pada foto di atas tampak seorang ibu muda sedang membelai meriam si Jagur, sepertinya mulutnya komat komit, entah apa yang diucapkanya.
Si Jagur dianggap magis sejak Portugis menyerahkan kepada Patih Majakatera Mundari pada tahun 1540, dan langsung diletakkan di Jalan Kakap sampai Gubernur Ali Sadikin memindahkan ke Museum Jakarta pada sekitar tahun 1975.
Biasanya hari libur penziarah ke si Jagur. Mereka membeli kembang kertas yang disebut kembang payung berwarna merah.
Kuncen mengatur giliran penziarah. Usai menyampaikan request sambil membelai body dan tangan si Jagur, lalu kembang payung ditancap sekitar si Jagur, maka upacara selesai. Content request biasanya minta keturunan.
Si Jagur sebagai meriam ada mulutnya untuk muntahkan mesiu. Tapi penyulutnya tak ada, berganti dengan tangan mengepal. Susunan jari pada kepalan tangan berbeda. Ibu jari menyembul di antara jepitan telunjuk dan jari tengah, ini diartikan, sampai sekarang, sebagai symbol of sex.
Portugis sejak 1521 mendanai pemindahan pelabuhan Sunda Kalapa dari Kali Adem ke Kota Inten, Kali Besar barat, dan Pasar Ikan. Selesai 1540 dan Portugis meng-audit pemakaian uang. Hasilnya, dalam bahasa birokrat, wajar tanpa pengecualian. Bahasa Portugisnya Fico. Gaya kepalan tangan si Jagur symbol of fico.
Baca juga : Nama Ibu Kota Negara Ada di Kantong Jokowi
Meriam ini dipesan Portugis di Macao. Nama si Jagur dari penduduk yang merupakan onomotope, tiruan bunyi, yang keras: jegar jegur.
Bok eran bok eran engkong sayé mau kawin
Potong kerebo pendék
Potong ketebo tinggi
Gamelan jegar jegur
Onomotope tidak untuk toponim. Orang ada yang pahami Glodok dari onomotope air pancuran: grojok grojok jadi Glodok. Kenapa tidak Grojok. Glodok batu bukit (di Tambora). Dalam bahasa Minang galodo.
Pamor si Jagur memasuki era Orde Lama memudar, dan tak bangkit lagi. Begitulah pamor, atau popularitas. Apalagi ketika mencari pamor lagak dibikin-bikin, alias tidak asli.