REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr. Margarito Kamis, SH.M.Hum, Pakar Hukum Tata Negara dan Staf Pengajar Universitas Khairun Ternate.
Presidensialisme, sebuah pandangan konstitusionalisme empiris, menyodorkan presiden sebagai wujud kekuasaan pemerintahan, yang efekitifitasnya dibayangkan terus mekar, terkonsolidasi dan tak terganggu oleh permainan politik. Vesting clause memang mendefenisikan cakupan kewenangan presiden, ditpang dengan implied power.
Semuanya harus terjaga, dan dapat digunakan secara efektif, sesuai asumsi dasar pembentukan kekuasaan ini. Konstitusionalisme empiris juga menunjukan dengan sangat terang perluasan kekuasaan presiden, melampuai sekam konstitusi. Politik dan kerumitan penyelenggaraan pemerintahan, telah terbukti menjadi sumbu lain bertambahnya kekuasaan presiden.
Diluihat dari sudu asal-usul, perluasan kewenangan presiden, dalam kasus Amerika, bukan tak terbayangkan. Presidensialisme Amerika, per se, kian hari hari kian menguat. Tak terasa fenomena itu mewabnah di Indonesia. Menariknya penguatan itu dipertalikan dengan, salah satunya, dengan presidential threshold.
Perluasan presidensialisme Indonesia, menariknya berkiblat pada presidensialisme Amerika. Presidensialisme Amerika terlihat diambil dan dijadikan rukukan, yang entah bagainmana dipertalikan dengan presidential threshold. Presiden didukung oleh banyak partai, dan dibayangkan presiden, siapapun orangnya, memiliki kaki politik di DPR. Tujuannya sederhana, presiden dapat bekerja secara efektif, dan stabilitas pemerintahannya terjaga.
Masalahnya apakah rujukan tersebut kredibel? Itu soal yang harus didalami. Amerika disepanjang sejarah mereka, menyodorkan dua partai yang silih berganti memerintah atau mengendalikan kekuasaan. Sedari awal presidensialismenya memang sudah begitu.
Dalam Philadelphia constitutional convention 1787, pembicaraan mengenai konsep presiden sama sekali tidak dikaitkan dengan partai politik. Partai politik malah secara samar-samar dalam nada negatuif. Begitu juga demokrasi. Yang dibicarakan adalah republik.
Pemilihan presiden misalnya, sama sekali tidak menjadikan demokrasi sebagai preferensi. Memilih, bukan menunjuk atau mengangkat, itulah yang diyakini semua peserta konvensi sebagai keharusan republik. Pemilu memang dibicarakan, tetapi tidak dipertalikan dengan demokrasi. Pemilu dipertalikan dengan republik.
Menariknya hingga berlangsungnya Constitutional Convention di Philadelphia sejak akhir Mei 1787 hingga pertengahan September 1787, tidak ditemukan praktek pemerintahan presidensial. Tak satu pun dari 13 negara bagian, yang tergabung dalam konfederasi, mempraktekan pemerintahan presidensial. Tidak juga ditempat lain, di dunia kala itu.
Tetapi semangat penciptaan satu pemerintahan nasional yang kuat, terus mengenergizer anggota konvensi. Kuatnya motifasi itu, memaksa mereka membicarakan kekuasaan eksekutif, executive power. Hebatnya, motivasi sebesar itu tidak membutakan mereka terhadap tabiat bawaan manusia.
Praktis, pembicaraan mengenai pemerintahan nasional yang kuat dipandu dengan asumsi-asumsi filosofis tentang tabiat manusia, dan tipikal kekuasaan. Perihal tabiat kekuasaan, para peserta terinspirasi kuat oleh praktik raja-raja Inggris, terutama George III, yang despotik.
Rumit memang, sebab kendati konvensi dibekali dengan Virginia Plan, draft konstitusi yang dirancang oleh James Madison, hingga debat tanggal 1 Juni, belum ditemukan nama dan sifat executive power itu. Beruntung mereka memiliki James Wilson, ahli hukum, yang dengan kepiawaiannya segera memecahkan kerumitan itu.
Tanggal 1 Juni, seminggu setelah konvensi berlangsung, James Wilson, delegasi Philadelphia, membicarakan konsep presiden untuk pertama kalinya. Presiden yang dibicarakan Wilson, dan kelak dijadikan rujukan sepanjang konvensi itu, bukan orang, melainkan sebuah konsep kekuasaan eksekutif.
Michael W. McConnel, dalam article “Wilson Contribution to the Construction of Article II,” menulis setelah meletakan “the Executive power” in a unitary President, Komite detail merancang satu pasal baru yang berisi daftar kekuasaan presiden (eksekutif), termasuk kewajibannya. Daftar ini, tulis McConnel lebih jauh” powerfull executive independent of the legislature.”
Rancangan ini mengesampingkan gagasan Roger Sherman tentang Executive magistracy. Bagi Sherman eksekutif berfungsi sebagai pelaksana kebijakan legislatif. Jelas, gagasan itu memperoleh sambutan, layaknya sambutan konvensi terhadap gagasan James Wilson.
Bagi Wilson, kekuasaan presiden tidak bisa dicampuri oleh kongres. Gagasan Wilson ini, dijadikan draf ketiga oleh Komite Deteil, yang Wilson ikut di dalamnya, dan menulis sendiri draft itu. Draft ketiga yang ditulis Wilson dimulai dengan (section 12). Dikenal dengan vesting clause karena pada section inilah kekuasaan presiden ditulis. Section ini dimulai “The Executive power of United State shall be vested a single Person.”
Hebatnya, melaksanakan hukum tidak dirumuskan sebagai kekuasaan presiden. Pelaksanaan hukum, yang drafnya ditulis oleh Rutledge dan Charles Pinckney sebagai “duty” presiden. Menurut McConnel, gagasan ini bersandar pada logika William Blackstone, ahli hukum Inggris, tentang kewajiban raja Inggris mengurus rakyat berdasarkan hukum.
Carol Berkin, sejarahwan top ini, menulis pada tanggal 6 Agustus 1787, komite detail memformulasi konsep presidensi, cara pemilihannya, masa jabatannya dan kekuasaannya. Dijelaskan lebih jauh, executive power dilaksanakan oleh seseorang, dipilih oleh legislatif untuk masa jabatan 7 (tujuh) tahun, tanpa kemungkinan dipilih kembali, termasuk cakupan kekuasaannya.