REPUBLIKA.CO.ID,,JAKARTA -- Anggota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Ledia Hanifah meminta kebijakan pertemuan tatap muka (PTM) di sekolah tak saklek dilakukan. Sebab, kondisi kedepannya tak bisa diperkirakan.
"Kondisinya fleksibel, kebijakan PTM tidak harus saklek karena kondisinya betul-betul tidak bisa diprediksi," ujar Ledia saat mengisi sebuah konferensi virtual bertema Omicron Ancam PTM 100 Persen?, Selasa (18/1).
Ia mengakui, PTM di sekolah dilakukan karena Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) merasa khawatir terjadi learning loss yang menurunkan kemampuan belajar siswa. Tetapi, Komisi X DPR mengingatkan bagaimanapun juga otoritas harus memikirkan kondisi kesehatan.
Bisa jadi tak hanya sekolah yang PTM dengan kapasitas murid 100 persen yang kemudian muncul kasus Covid-19, melainkan juga PTM yang kapasitasnya hanya 50 persen ternyata juga sudah ada kasus penularan virus. Belum lagi disiplin menerapkan protokol kesehatan (prokes) yang harus dipastikan.
Ia menceritakan sebelum berangkat ke kantornya di Senayan, dirinya sempat melewati sebuah sekolah negeri di Jakarta. Ketika bubar jam sekolah, ia melihat para murid sekolah tersebut terlihat berkerumun dan ada juga ketika menyeberang bergandengan tangan.
"Yang begini kan perlu konsistensi pengawalan (prokes). Artinya, guru harus membantu menyadarkan anak-anak, terutama di jenjang sekolah dasar (SD)," katanya.
Tak hanya disiplin prokes, pihaknya juga mendapatkan kabar terjadi perubahan perilaku terjadi saat PTM. Awalnya, dia melanjutkan, semua pihak, terutama murid merasakan euforia bisa PTM karena merasa kangen dengan temannya.
Tetapi sepekan dua pekan usai PTM dilakukan, dia melanjutkan, ternyata murid ingin kembali belajar dari rumah. Alasannya, ketika PTM dilakukan, murid harus bangun di pagi hari dan mandi sebelum ke sekolah PTM. Ini berbeda jika belajar dari rumah yang cukup hanya mencuci muka sebelum belajar lewat dalam jaringan (daring).
Tak hanya itu, Ledia juga mendapatkan laporan ketika PTM di sekolah, para murid ternyata cenderung pasif. Ada juga murid yang merasakan kebijakan yang berubah-ubah karena baru mendapatkan pelajaran di sekolah ternyata terjadi perubahan kebijakan sekolah kembali diliburkan. Ia mengingatkan perubahan seperti ini tentu mengubah psikologis anak.
"Makanya saya berkali-kali mengingatkan harus dioptimalkan guru bimbingan konseling, psikolog di sekolah supaya bisa menemani orang tua dan murid. Perhatikan kesehatan mental, bukan hanya fisik karena semua harus dijaga," ujarnya.
Yang utama, dia menegaskan yakni tetap lakukan edukasi mengenai disiplin melaksanakan prokes. Ia mengakui sebagian besar anak usia diatas 12 tahun sudah divaksin Covid-19. Tetapi saat berkumpul, atau saat menaiki kendaraan umum menuju sekolah, bisa saja pelajar ini tak disiplin menerapkan prokes meski telah divaksin. Apalagi pelajar yang kecil-kecil dibawah kelompok usia 12 tahun belum divaksin.
Meski mayoritas pelajar memang sudah disuntik vaksin Covid-19, ia mengingatkan penularan virus bisa tetap terjadi. Terutama pada anak yang belum divaksin.
"Sehingga, kelompok pelajar ini, terutama di bawah 12 tahun yang harus ditemani kan. Kesadarannya harus dibangun supaya tetap menjalankan prokes," ujarnya.