REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Belakangan, makin banyak kasus infeksi terbosoan (breakthrough infection) Covid-19. Istilah itu merujuk pada kejadian yang dialami orang yang sudah divaksinasi, namun tertular penyakit wabah tersebut.
Sebetulnya, berapa lama sebetulnya antibodi yang diinduksi vaksin Covid-19 bisa bertahan di dalam tubuh? Pertanyaan itu kian penting untuk dijawab di tengah penyebaran varian omicron dari SARS-CoV-2 yang sangat menular.
Bahkan, menurut sejumlah penelitian yang dilakukan, varian omicron cukup kebal terhadap vaksin. Meski demikian, bagi orang-orang yang telah divaksinasi, infeksi omicron cenderung menyebabkan gejala ringan.
Untuk menjawab pertanyaan tentang efektivitas jangka panjang dari antibodi yang didapat dari vaksin Covid-19, peneliti India mengungkap hasil studi terbarunya. Mereka juga sudah bisa menentukan kelompok masyarakat yang harus diprioritaskan untuk mendapatkan vaksin dosis penguat (booster).
Studi tersebut melibatkan 1.636 petugas kesehatan yang sudah mendapatkan dua dosis vaksin Covid-19. Para ahli meyakini bahwa meski ada kasus Covid-19 yang ringan, penting untuk tetap merancang strategi yang memastikan penyebaran virus seminimal mungkin.
Untuk itu, para ahli mengukur antibodi IgG anti-S1 dan IgG anti-S2 terhadap SARS-CoV-2 pada peserta. Pasien yang memiliki tingkat antibodi di bawah 15 AU/ml dianggap sebagai antibodi negatif yang menyiratkan bahwa mereka tidak mengembangkan kekebalan protektif terhadap virus.
Diperkirakan, 100 AU/ml adalah tingkat perlindungan minimum yang dibutuhkan pasien terhadap virus, di mana mereka yang memiliki skor lebih rendah dari ini lebih mungkin untuk mendapatkan infeksi. Sebanyak 93 persen peserta telah menerima vaksin Covishield, 6,2 persen Covaxin, dan kurang dari satu persen mendapatkan vaksin Sputnik.