REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- CEO dan penggagas HatiPlong, Farah Djalal, menjelaskan, stigma negatif di masyarakat masih memengaruhi sebagian besar orang untuk pergi ke psikolog. Selama pandemi ini, kata dia, sebenarnya semakin banyak orang yang membutuhkan tenaga ahli untuk kesehatan mental.
"Cuma masih banyak stigma di masyarakat Indonesia untuk datang ke psikolog," kata Farah di Jakarta, Rabu (19/1/2022).
Dia menyebut, banyak orang yang mengetahui bahwa dirinya punya masalah kesehatan mental dan membutuhkan layanan psikolog. Namun yang mereka lakukan kemudian adalah mengatasi dengan cara mereka sendiri. Mereka pun sebenarnya sadar itu belum menyelesaikan keseluruhan masalahnya.
"Mereka tahu harus datang ke psikolog, tapi karena stigma masih kuat, banyak yang belum mengambil tindakan untuk ke psikolog," kata dia.
Farah mengatakan, salah satu stigma yang ada di masyarakat adalah pergi ke psikolog jika memiliki masalah yang besar. Farah menegaskan, sebaiknya seseorang bisa pergi ke psikolog meskipun tidak memiliki masalah yang besar. "Jangan (datang ke psikolog ketika masalah sudah besar). Itu salah satu stigmanya bahwa orang kalau ke psikolog ketika masalah sudah besar," ujarnya.
Menurut dia, hal itu keliru. "Jangan nunggu masalahnya besar baru datang ke psikolog. Sama seperti kalau luka fisik. Ada luka nih, ah obatin dulu sebentar, tapi lama-lama luka itu jadi luka bernanah, tambah luas, baru datang ke dokter dan sudah telat," kata dia.
Farah mengatakan, waktu yang tepat untuk datang ke psikolog adalah saat seseorang merasakan hal yang mengganjal dalam dirinya. Sebaiknya, pergi ke psikolog pun juga dilakukan sebelum masalah tersebut dapat mengganggu keseharian orang tersebut.
"Jadi sebenarnya begitu kalian merasa bahwa ada sesuatu yang mengganjal yang bikin hidup saya enggak plong, apalagi jangan tunggu sampai mengganggu keseharian kita, datang saja ke psikolog. Enggak perlu bawa masalah besar. Ceritain saja. Curhat saja layaknya curhat ke teman," jelas Farah.