REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Indra Jaya Piliang, Ilmuwan Semiotika Berijazah Magister dari Universitas Indonesia
Manakala Kahlil Gibran dihadapkan dengan Jalaluddin Rumi, bisa jadi ahli-ahli statistik sosial bakal kesulitan menyusun rumusan kuantitatif. Menang kalah berada pada aksara yang menjelaskan dan dijelaskan, pada satu sisi, lalu di sisi lain berlumut kata kaya makna miskin huruf.
Saya menikmati betul bacaan tentang puisi-puisi Rumi dari telisik Annemarie Schimmel. Entah di gudang buku yang mana bacaan itu kini. Schimmel, padahal, seorang orientalis, kalangan yang kadang dituduh membawa qhazwul fikri (kesesatan berpikir) terhadap Islam. Dari bedah fenomenologi yang dilakukan Schimmel, dunia Barat mengenali sufisme pada tingkat paling transendental dan intim manusia dengan sang pencipta.
Gibran?
Hampir tidak ada seorang ahlipun yang mengantarkan saya kepada pikiran-pikirannya, baik dalam bentuk puisi, prosa ataupun esai. Saya berburu karya-karya Gibran yang terserak. Dan sungguh saya tertegun dengan salah satu esai Gibran bertajuk “Matinya Sebuah Bangsa”.
Dan bangsa-bangsa yang mati itu kian banyak. Bukan yang ditangisi Gibran saja, tetapi menyeruak kemana-mana. Kurdistan adalah salah satunya. Pun begitu banyak bangsa-bangsa yang tak banyak jumlah manusianya, di bumi nusantara. Bahasa-bahasa yang mati. Manusia-manusia yang lenyap hingga orang terakhir pada sub etnis, ditelan penyakit-penyakit menular yang dibawa oleh manusia-manusia kolonial.
Yang besar yang banyak ditulis. Romawi, Yunani, Singosari, hingga Majapahit. Yang kecil yang terlindas buldozer monopoli industri pena dan kertas. Kapitalisme media yang tak memberi ruang kepada yang pinggiran. Yang pusat diberi hak memberi ketentuan dan penentuan sebagai sabda tak terbantahkan. Kawanan elang tak lagi puitis, tetapi yang terbang sendirian terasa kuat menantang badai. Hampir tak ada tempat buat kunang-kunang menaruh titik-titik cahaya pada langit yang basah.