REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Berdasarkan data dari Federal Trade Commission (FTC), scammer beralih ke platform media sosial dengan penipuan melalui layanan populer seperti Instagram, Facebook, TikTok, dan Twitter. Kerugian yang disebabkan ulah scammer setidaknya mencapai 770 juta dolar Amerika pada 2021. Namun, hanya sedikit orang yang melaporkan kasus penipuan tersebut karena merasa malu.
Dalam penelitian itu, sebanyak 95 ribu korban diperkirakan hanya mewakili sebagian kecil dari jumlah sebenarnya. Penipuan melalui media sosial menyumbang sekitar 25 persen dari semua kerugian yang dilaporkan. “Media sosial terbukti lebih menguntungkan bagi scammers pada tahun 2021 daripada metode lain untuk menjangkau orang-orang,” kata FTC.
Setiap kelompok usia terpengaruh. Namun mereka yang berusia antara 18 dan 39 tahun dua kali lebih mungkin menjadi korban penipuan media sosial selama 12 bulan terakhir dibandingkan orang dewasa yang lebih tua. Mereka yang melaporkan kehilangan uang karena penipuan melalui media sosial pada 2021 mengatakan tipu muslihat penipu dimulai dengan iklan, unggahan, atau pesan. Siasat tersebut berbiaya rendah untuk menjangkau miliaran orang dari seluruh dunia.
“Sangat mudah untuk membuat persona palsu atau scammers dapat meretas profil yang ada untuk membuat teman tertipu. Ada kemampuan untuk menyempurnakan pendekatan mereka dengan mempelajari detail pribadi yang dibagikan orang-orang di media sosial,” ujarnya.
FTC menambahkan scammers dapat dengan mudah menggunakan alat yang tersedia untuk pengiklan di platform media sosial secara sistematis menargetkan orang-orang dengan iklan palsu berdasarkan detail pribadi seperti usia, minat, atau pembelian mereka sebelumnya. Menurut FTC, kasus penipuan paling menguntungkan adalah investasi terkait produk mata uang kripto palsu. “Orang-orang mengirim uang sering kali mata uang kripto dengan janji pengembalian besar, tetapi berakhir dengan tangan kosong,” jelasnya.
Setelah mata uang kripto, penipuan asmara menjadi penipuan paling menguntungkan kedua di media sosial tahun lalu. Berdasarkan data, lebih dari sepertiga dari mereka yang ditargetkan mengatakan penipuan dimulai di Facebook atau Instagram. “Penipuan ini sering dimulai dengan permintaan pertemanan yang tampaknya tidak bersalah dari orang asing, diikuti dengan pembicaraan manis dan kemudian permintaan uang,” jelasnya.
Meski begitu, jumlah laporan tertinggi malah berkaitan dengan kasus penipuan e-commerce. Korban membeli barang yang diiklankan di media sosial, biasanya Facebook atau Instagram. Setelah memesan, barang tidak pernah dikirimkan.
Dilansir Digital Trends pada Jumat (28/1), temuan FTC adalah pengingat bermanfaat dari jebakan media sosial dan kebutuhan pengguna untuk tetap waspada saat terlibat dengan konten yang diunggah oleh orang lain, terutama jika ada jenis transaksi keuangan yang terlibat. Komisi menawarkan berbagai kiat tentang cara menghindari penipuan. Caranya antara lain dengan membatasi siapa yang dapat melihat unggahan dan informasi Anda di media sosial, menghindari berbagi informasi pribadi secara berlebihan, dan menelepon teman untuk mengonfirmasi situasi jika mereka tampaknya telah mengirimi Anda pesan terkait dengan beberapa bentuk pembayaran.