REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perubahan emosi dapat menyebabkan stroke karena menyebabkan suplai darah ke otak tersumbat atau berkurang. Stroke mempengaruhi otak dan mengendalikan perilaku. Biasanya penderita stroke mengalami lebih banyak emosi negatif sebelumnya.
Asosiasi Stroke Amerika mengatakan bahwa iritabilitas, kebingungan, kemarahan, dan depresi mungkin saja terjadi. Bahkan, kelupaan juga biasa terjadi. Namun, penelitian juga menunjukkan bahwa emosi negatif mungkin memiliki andil dalam meningkatkan risiko stroke.
Sebuah studi Interstroke global 2021 yang diterbitkan dalam European Heart Journal menyebutkan bahwa kemarahan dan emosi menjengkelkan lainnya, seperti kesedihan, depresi, atau kecemasan, terkait dengan sekitar 30 persen peningkatan risiko stroke satu jam kemudian. Penelitian tersebut bukan yang pertama menghubungkan emosi negatif yang kuat dengan risiko stroke. Sebuah pernyataan dari American Academy of Neurology (AAN) pada 2004, menjelaskan survei terhadap 200 orang yang dirawat di rumah sakit dengan stroke iskemik (yang terjadi ketika gumpalan darah membatasi aliran darah ke otak) atau serangan iskemik sementara (stroke mini).
Sekitar 30 persen dari mereka yang disurvei melaporkan kemarahan, ketakutan, lekas marah, gugup, atau syok, yang menyebabkan mereka tiba-tiba mengubah posisi tubuh mereka dalam dua jam sebelum stroke. Studi lain tahun 2021 yang diterbitkan di Scientific African, menunjukkan hubungan antara emosi seperti kemarahan dan ketakutan, dengan peningkatan risiko stroke seperti diabetes dan hipertensi.
Meskipun emosi dan kesehatan mental pernah dianggap sepenuhnya terpisah dari kesehatan fisik kita, ada semakin banyak bukti bahwa keduanya berhubungan. "Emosi dapat menyebabkan perubahan fisiologis dalam tubuh," kata seorang ahli stroke Cleveland Clinic, Dr Matthew Socco, dilansir dari Well and Good, Sabtu (29/1/2022).
"Ketika seseorang berada di bawah stres, itu menyebabkan tubuh mereka meningkatkan aktivitas sistem saraf simpatik. Pikirkan respons 'lari atau lawan'," papar dia.
Ketika sistem saraf simpatik kita diaktifkan, itu mempengaruhi tekanan darah, detak dan ritme jantung, serta banyak respons fisiologis lainnya yang berkaitan dengan peningkatan risiko stroke. Beberapa bukti ilmiah menunjukkan bahwa menahan emosi dapat menyebabkan peningkatan risiko stroke dan masalah jantung, terutama bagi perempuan.
"Menyalurkan emosi dengan sehat, dapat menjadi alat yang sangat efektif untuk mengurangi risiko berbahaya bagi kesehatan," ucap Dr Socco.
Banyak ahli kesehatan mental menyebut memendam emosi negatif adalah toxic positivity, yang bisa sangat merusak kesehatan mental, dan ternyata, juga merusak fisik.
“Para ilmuwan belajar lebih banyak tentang seberapa kuat hubungan pikiran-tubuh,” papar Dr Socco.
Tentu saja, sebagai manusia dengan berbagai macam emosi, tidak mungkin untuk menghindari perasaan marah, sedih, atau takut. Seorang ahli saraf Johns Hopkins Medicine, Dr Elisabeth Marsh, mengkhawatirkan berita dari penelitian ini akan semakin menyebabkan kekhawatiran yang tidak perlu.
“Saya tidak ingin orang panik setiap kali mereka bertengkar dengan seseorang. Otak kita sebenarnya cukup fleksibel, jadi peningkatan tekanan darah sesekali atau aktivitas sistem saraf simpatik lainnya, tidak perlu terlalu dikhawatirkan. Bukan karena tekanan darah naik, kemudian langsung terkena stroke,” katanya.
Bukti menunjukkan kemarahan hebat, kecemasan, stres, dan depresi, yang bisa menyebabkan lebih banyak masalah. Meskipun pembuluh darah otak sangat mudah dibentuk, stres berat yang menyebabkan tekanan darah tinggi dapat membuat pembuluh darah terlalu tegang dan menyebabkan kerusakan.
Stres berat atau depresi juga cenderung mengarah pada kebiasaan tidak sehat seperti merokok, makan berlebihan, dan menghindari olahraga, yang juga berdampak pada risiko stroke. Sementara kesehatan mental menjadi bagian penting dalam mengelola risiko stroke.
Beberapa cara terbaik untuk mencegah stroke adalah dengan mempertahankan gaya hidup sehat, mengobati tekanan darah tinggi, dan tidak merokok. Namun penelitian itu juga menunjukkan peristiwa lain seperti kemarahan, kesal, atau aktivitas fisik yang berat dan rutin terjadi, bisa meningkatkan risiko jangka pendek.
Menariknya, perilaku sehat yang disebutkan di atas kemungkinan juga akan membantu kesehatan mental dan emosional. Penelitian telah menunjukkan bahwa olahraga dapat memerangi depresi, stres berat, dan kecemasan.
“Berlari, berjalan, tinju, berenang, atau menggerakkan tubuh saja, bisa menjadi salah satu saluran emosional yang sehat,” kata Dr Socco.