Oleh : Dr. Endang Fatmawati, M.Si., M.A., Dosen LB Program Studi Informasi Humas, Sekolah Vokasi, Universitas Diponegoro.
REPUBLIKA.CO.ID, Ceko merupakan negara dengan penduduk 10,7 juta orang. Data kasus Covid-19 di Ceko mencapai lebih dari 20.000 pada Selasa, 24 Januari 2022.
Hanka Horka, seorang penyanyi asal Ceko, ikut menyumbang tingginya kasus Covid-19. Horka pun akhirnya meninggal dunia akibat menolak vaksin. Dia sengaja menulari dirinya dengan virus Covid-19. Dia memilih tertular ketimbang divaksinasi. Kejadian yang terjadi pada Hanka Horka tersebut menjadi pelajaran.
Dalam konteks ini, menunjukkan betapa saat ini masih ada saja orang yang menolak vaksin. Mereka memilih tidak mau divaksin dan sengaja mendeklarasikan kalau anti vaksin. Bahkan cenderung abai dan tidak mengikuti protokol kesehatan.
Pemerintah terus melakukan berbagai upaya untuk membasmi Covid-19. Salah satunya dengan menggalakkan vaksinasi dosis satu, dosis dua, hingga booster. Namun, selama pandemi Covid-19, gelombang infodemik terkait vaksin kerap terjadi. Akibatnya menimbulkan kepanikan dan keresahan masyarakat.
Kondisi demikian disebabkan karena kurangnya pengetahuan tentang informasi yang diterima. Akhirnya informasi yang terserap tidak terverifikasi sehingga informasi yang dikonsumsi ternyata hoaks dan menyesatkan. Padahal faktanya vaksinasi jelas akan memperkuat imunitas tubuh sehingga dapat meminimalkan gejala kasus positif Covid-19, maupun menurunkan angka kematian.
Sungguh ironis di tengah gencarnya pemerintah menggalakkan vaksin, beredar pula infodemik seputar vaksin. Infodemik sebagaimana diistilahkan oleh WHO, merupakan beredarnya informasi secara cepat dan luasnya penyebaran informasi yang tidak jelas, terlepas informasi itu akurat atau tidak. Infodemik dalam hal ini berarti banjirnya informasi yang kemunculannya di berbagai media justru mengganggu upaya pencarian solusi terhadap masalah yang ada.
Infodemik selain berkaitan dengan persebaran masif berita hoaks tentang vaksin, juga berhubungan dengan diseminasi informasi terkait vaksin yang justru tidak sinkron dan membingungkan. Adanya infodemik, membuat orang sulit mendapatkan informasi yang benar, kredibel, dan valid. Apalagi jika informasi yang diterima itu tidak jelas sumbernya atau hanya pendapat seseorang yang bukan ahlinya.
Bahaya infodemik vaksin lebih berbahaya daripada pandeminya. Contoh konkret ragam infodemik di Indonesia telah menimbulkan kepanikan massal yang memicu anti vaksin. Dari situs kominfo.go.id, sudah ditegaskan bahwa informasi booster vaksin Covid-19 tiap 6 bulan sekali, itu adalah hoaks. Selanjutnya, pernah muncul juga disinformasi yang beredar luas di Facebook, terkait vaksin booster yang berbayar bagi masyarakat yang tidak punya kartu BPJS kesehatan. Padahal Presiden Jokowi sudah memutuskan bahwa vaksinasi booster itu gratis bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Opini yang berkembang di masyarakat dan di media sosial bahwa kehalalan vaksin kembali menjadi pertanyaan. Fakta di lapangan, ternyata masih banyak ormas dan masyarakat yang mempertanyakan kehalalan vaksin booster. Selain itu, masih banyak warga yang enggan divaksin karena ragu atas kehalalan vaksin yang ada.
Memang pada awalnya pemerintah cuma memberikan tiga opsi vaksin dan semuanya tidak ada yang bersertifikat halal. Bahkan MUI juga pernah menetapkan bahwa vaksin AstraZeneca dan Sinopharm adalah haram, sedangkan yang halal adalah vaksin Sinovac dan Zifivax. Namun, penggunaan kedua vaksin, baik AstraZeneca dan Sinopharm, tetap diperbolehkan karena kondisi darurat.
Jadi, faktanya ternyata isu bahwa semua vaksin itu haram, ternyata tidak benar. Selama ini pemerintah sudah mengedepankan prinsip kehati-hatian untuk menjaga keselamatan masyarakat penerima vaksin, baik dari sisi keamanan, kualitas, dan kemanjuran.
Infodemik ini pun ikut mempengaruhi rendahnya realisasi vaksin booster yang dicapai pemerintah. Sebagaimana diberitakan oleh Republika (17/1/2022) bahwa Kemenkes menargetkan sebanyak 179 juta dosis vaksin booster yang diperuntukkan bagi warga berusia di atas 18 tahun dengan prioritas kalangan lansia. Sementara itu, angka realisasi vaksinasi booster Covid-19 per 19 Januari 2022, baru mencapai 1,34 juta orang.
Sebetulnya infodemik yang notabene sudah menjadi persoalan global, bisa diatasi dengan cerdas berliterasi. Masyarakat yang sudah cakap digital diharapkan bisa menepis informasi yang menyesatkan dan memerangi infodemik, melakukan penilaian secara kritis, mengakses dan memanfaatkan secara benar, serta mampu menggunakan informasi secara efektif.
Vaksin booster sebagai lanjutan dari dua kali vaksin sebelumnya. Sekalipun vaksin sebagai upaya mengembalikan imunitas dan proteksi klinis yang menurun, tetapi belum semua orang menyadarinya untuk segera melakukan vaksin. Saat ini, masyarakat menerima begitu banyak informasi terkait vaksin booster yang simpang siur kebenarannya.
Dalam covid19.go.id disebutkan alasan perlunya vaksin booster. Pertama, adanya kecenderungan penurunan jumlah antibodi sejak 6 bulan pasca vaksinasi terutama di tengah kemunculan varian Covid-19 seperti halnya Omicron. Kedua, sebagai bentuk usaha adaptasi masyarakat hidup di masa pandemi Covid-19 demi kesehatan jangka panjang. Ketiga, memenuhi hak setiap orang Indonesia untuk mengakses vaksin demi perlindungan diri dan komunitas.
Oleh karena vaksin booster merupakan dosis tambahan, maka akan memberikan perlindungan yang lebih ekstra terhadap serangan Covid-19 maupun virus varian baru yang muncul seperti halnya Omicorn. Target vaksin booster bisa jadi tidak akan tercapai jika masih banyak hoaks yang menyesatkan masyarakat. Untuk meluruskan pemberitaan tentang vaksin halal tersebut, maka perlu literasi sehingga tidak menjadi polemik masyarakat dan bisa menvalidasi informasi agar tidak terbawa arus propaganda hoaks.