REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof. Tjandra Yoga Aditama mengatakan, mereka yang telah sembuh dari COVID-19 atau para penyintas, bisa kembali terkena varian Omicron. "Ada penelitian yang menyebut dua atau tiga atau lima kali lebih sering. Ada juga peneltian lain menunjukkan risiko relatif terinfeksi ulang 6,36 kali pada yang belum divaksin dan 5,02 kali pada yang sudah divaksin," kata Prof. Tjandra, Senin (7/2/2022).
Prof Tjandra yang pernah menjabat sebagai Direktur WHO Asia Tenggara dan Mantan Dirjen P2P & Ka Balitbangkes itu mengungkapkan, reinfeksi juga bisa dialami orang yang sudah mendapatkan booster atau dosis ketiga vaksin. Hal ini karena efikasi vaksin tidak 100 persen.
"Jadi masih mungkin akan ada yang sakit yang disebut breakthrough infection yang derajatnya dinilai dalam bentuk breakthrough infection rate (B-Infection rate)," ungkap dia.
Mereka yang sudah divaksin lengkap tetap memiliki kemungkinan terinfeksi Omicron, hanya diharapkan tanpa gejala atau keluhannya ringan. Menurut Prof. Tjandra, pemberian vaksin secara lengkap ditambah booster akan mampu mengurangi angka pasien dirawat di rumah sakit dan jauh mengurangi kemungkinan penyakit menjadi memberat.
"Pemberian vaksin secara lengkap apalagi kalau dengan booster akan secara bermakna mengurangi angka masuk rumah sakit dan jauh mengurangi kemungkinan penyakitnya jadi memberat," ujar dia.
Terkait kebijakan yang bisa dilakukan untuk mengatasi kenaikan kasus yang terjadi beberapa waktu terakhir, Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI itu menyarankan pemerintah kembali melakukan levelisasi PPKM dan pengetatan aturan pada situasi tertentu dan memodifikasi penetapan aturan. "Mungkin baik kalau dievaluasi bagaimana implementasi kriteria (klasifikasi PPKM) itu, misalnya angka BOR kan tergantung dari berapa tempat tidur yg disediakan, kalau alokasinya di tambah maka BOR akan turun dan lainnya. Jadi BOR harus dibaca dengan hati-hati," kata Prof. Tjandra.
Dia menyarankan, pertimbangan epidemiologik kenaikan dan penurunan di berbagai negara dapat jadi pegangan tentang berapa lama levelisasi PPKM akan dilakukan.