![](https://static.republika.co.id/uploads/images/widget_box/ridwann-saidi-sejarawan-budayawan-betawi-da-politisi_210911163830-877.jpg)
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ridwan Saidi, Politisi Senior, Sejarawan, dan Budayawan Betawi.
Suatu pagi di tahun 1976 saya ada keperluan. Ketika mau bedug lohor saya pulang, Mak kata, "Itu ada surat dari Machbub, pagi tadi dia kesini."
Ternyata Machbub Djunaidi yang mantan Ketua PWI itu pagi-pagi sudah ke rumah saya di Sawah Besar. Lihar foto di bawah.
Ternyata setelah baca surat itu cuma seloroh saja yang menyindir saja." Wan, yang keluar pagi-pagi kan hanya tukang bubur ayam?"
Itulah isi surat Machbub. Rupanya dia jengkel pagi-pagi ke rumah saya, saya sudah pergi.
Kenapa Machbub jengkel? Dia bilang beromong bukan cuma soal komunikasi, tapi juga seni. "Ngomong itu mesti berasa," kata Machbub.
![photo](https://static.republika.co.id/uploads/images/headline_slide/machbub_220213082653-611.jpeg)
Seorang tua berumur bilang ke saya yang dia sejak dulu hampir selalu mengikuti ceramah M. Natsir. Kata dia, "Walau tak paham sepenuhnya, tapi suara Pak Natsir itu empuk."
Jadi inilah yang harus ditingkatkan, yakni kualitas komunikasi. Tak peduli itupegiat politik dan aktivis, mau pun pejabat.
Untuk 'berasa ngomong' saya ada beberapa teman dekat, antara lain pelukis Iwan Aswan bin Naseh anak Kebon Sirhi. Ia tamatan IKJ . Tiap hari ia terus melukis saja, ada yang pesan atau tidak. Beberapa karyanya dikoleksi museum dalam negeri dan luar. Tapi saya tau dalam situasi yang sulit ini bagainana Iwan menjalani hidup yang berat. Seberat apa pun, katanya, kreativitas tak boleh berhenti.
Maka meningkatkan kualitas politik dengan meningkatkan kualitas komunikasi itu mutlak. Nonton orang marah-marah di ruang publik sungguh meletihkan. Apa berpolitik jaman sekarang memang mesti begini?