Senin 14 Feb 2022 15:08 WIB

Wadas dan Wajah Otoritarian

Kekerasan di Wadas menunjukkan wajah arogan dan otoritarianisme.

Mahasiswa dari berbagai universitas di Purwokerto menggelar aksi damai terkait insiden di Desa Wadas, Purworejo.
Foto: Idealisa Masyrafina
Mahasiswa dari berbagai universitas di Purwokerto menggelar aksi damai terkait insiden di Desa Wadas, Purworejo.

Oleh : Tamsil Linrung, Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI.

REPUBLIKA.CO.ID, Desember 2021 lalu, dalam acara pengarahan kepada kepala kesatuan wilayah yang diselenggarakan di Bali, Presiden Joko Widodo mewanti-wanti para Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda). Mereka diminta mengawal investasi di masing-masing wilayahnya. Bagi yang tidak bisa, ancamannya tidak tanggung-tanggung. Jokowi bilang telah meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigit untuk memperingatkan dan bahkan mengganti Kapolda yang tidak bisa mengawal investasi di Tanah Air.

Dua bulan berlalu, Desa Wadas memanas. Media melaporkan, ratusan (dan bahkan ada yang menyebut ribuan) polisi beserta Satpol PP merangsek ke Desa Wadas, Kabupaten Bener, Purworejo, Jawa Barat. Nama Wadas lalu menggema, ramai dibicarakan lantaran polisi menangkap puluhan warga demi kelancaran pembangunan Bendungan Bener.

Boleh jadi, peristiwa kelam di Desa Wadas adalah buntut pernyataan presiden. Meski sulit memberi kesimpulan secara tegas, namun sulit menampik benang merah yang berpotensi mengaitkan korelasi dua peristiwa di atas.

Nilai investasi Bendungan Bener memang terbilang besar. Angkanya mencapai Rp 2,06 triliun yang bersumber dari APBN-APBD. Tujuannya baik. Bendungan Bener diharapkan dapat menyuplai air untuk ribuan hektar sawah, pemenuhan kebutuhan air baku masyarakat, pembangkit listrik tenaga air, dan lain-lain.

Namun, tujuan baik itu tentu harus melalui cara-cara yang baik pula. Kita tahu, pembangunan bukan melulu soal investasi atau target manfaat semata. Pembangunan juga adalah tentang demokratisasi, penghargaan terhadap hak-hak rakyat. Banyak yang memperoleh manfaat, namun tak sedikit pula yang merasa dirugikan.

Pemerintah seharusnya bisa mendeteksi potensi konflik yang muncul akibat pembangunan infrastruktur. Dalam kasus Wadas, misalnya, rakyat bukannya tidak paham bernegara. Jauh hari, mereka yang kontra telah melayangkan keberatan. Namun gugatannya ditolak, baik di tingkat pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara maupun kasasi di Mahkamah Agung. Putusan itu membuat pemerintah melalui Menkopolhukam Mahfud MD percaya diri, dan mengatakan program pemerintah sudah benar.

Dalam konteks demokrasi prosedural, pernyataan Mahfud mungkin ada benarnya. Namun, dalam perspektif demokrasi substansial, debatnya bisa berbeda. Demokrasi substansial melihat penegakan demokrasi pada substansinya, bukan sebatas prosedurnya. Sayangnya, pemerintah acapkali berbicara tentang demokrasi pada sisi proseduralnya.

Begitu banyak contoh yang bisa dikemukakan. UU Omnibus Law Cipta Kerja, misalnya, disebut telah memenuhi asas demokrasi. Pengajuan dari pemerintah, pembahasan di DPR, pelibatan partisipasi rakyat, dan seterusnya. Karena prosedural terpenuhi, kita seolah tak perlu mempersoalkan suara rakyat yang tumpah ruah ke jalan, korban luka akibat gesekan aparat dan demonstran di lapangan, dan sebagainya.

Hasilnya cukup memalukan ketika Mahkamah Konstitusi menyatakan UU tersebut bertentangan dengan konstitusi. Namun kita seperti tak pernah mengambil pelajaran. Buktinya, proses yang nyaris sama kembali terulang pada pengesahan UU IKN. Pun dalam kasus Wadas.

Yang terjadi di Wadas menunjukkan wajah arogan dan otoritarianisme. Aparat bertindak represif, rakyat dicekam ketakutan. Mahfud MD menyatakan tidak ada pelanggaran, namun foto dan video yang mengindikasikan hal sebaliknya berseliweran di media sosial. Belum lagi tanggapan atau pendapat sejumlah tokoh.

Fenomena Wadas pada akhirnya menbuat tagar #JokowiSemakinOtoriter melambung dua hari di twitter, dan negara menjadi tersangka utama. Penilaian masyarakat ini mempertegas pendapat LP3S. Pada 2020 lalu, Direktur Center for media and Democrasi LP3ES Wijayanto menyebut Indonesia telah memenuhi empat kriteria negara penganut otoritarianisme melalui sejumlah kebijakan. Pendapat ini merujuk pada empat ciri rezim politik otoriter yang disampaikan beberapa akademisi Universitas Harvard, yaitu komitmen lemah terhadap aturan main demokrasi, penyangkalan legitimasi lawan politik, toleransi terhadap kekerasan, dan pembatasan kebebasan sipil.

Penanda yang paling mengkhawatirkan adalah kian meluas dan dominannya peran institusi keamanan. Beberapa lembaga negara bahkan dipimpin perwira polisi, baik yang masih aktif atau purnawirawan. Di saat yang sama ruang kebebasan sipil semakin mengkerut dan pengap, sementara fokus khalayak diombang-ambingkan dari satu masalah ke masalah lainnya.

Kini, isu wadas mulai mereda menyusul Langkah Kapolda Jawa Tengah Irjen Polisi Ahmad Luthfi menarik personelnya dari Desa Wadas. Namun, insiden di Wadas telah meninggalkan trauma dan kerenggangan antarwarga desa. Luka ini harus diobati terlebih dahulu, sembari melakukan dialog, seperti seruan Menkopolhukam. Langkah yang terlambat, namun tetap kita perlukan.

Amnesty International Indonesia dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia menyebut pengerahan pasukan ke Desa Wadas berlebihan dan melanggar HAM. Dua lembaga ini meminta pemerintah bertanggung jawab atas insiden pengerahan pasukan di Desa Wadas. Dua nama disebut secara khusus, yakni Presiden Joko Widodo dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Ganjar telah banyak mengeluarkan pernyataan. Tetapi tidak dengan Presiden Jokowi.

Mungkin, ada baiknya Presiden Jokowi berdialog dengan rakyatnya. Bukan melulu melempar kaos ke hadapan mereka.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement