Oleh : Gita Amanda, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Saya mendengar dua ibu tampak berbincang mengenai Pembelajaran Tatap Muka (PTM), anak-anak mereka. Ada yang anaknya tetap melaksanakan PTM 100 persen sementara lainnya harus kembali menjalani Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), padahal keduanya tinggal di wilayah yang sama di salah satu kota di Jawa Barat.
Sejak kasus positif dari varian Covid-19 Omicron menanjak, aturan PTM 100 persen yang baru saja digelar memang harus "gulung tikar". Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan mendapat desakan berbagai pihak untuk mengurungkan rencana PTM 100 persen, mengingat mulai makin banyaknya klaster sekolahan tercipta.
Akhirnya kebijakan PTM 100 persen, yang baru dikeluarkan seiring dilaksanakannya vaksinasi untuk anak-anak usia 6 hingga 11 tahun, harus dihentikan. Apalagi ketika Pemerintah mulai kembali Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level III dan IV di sejumlah wilayah.
Hanya saja, aturan ini tak seragam dilaksanakan semua sekolah. Wajar jika aturan dilaksanakan berbeda di tiap daerah, tapi saat ini banyak sekolah-sekolah dalam satu wilayah juga menerapkan aturan berbeda. Ada yang tetap lanjut melaksanakan PTM 100 persen, ada yang mulai mengurangi menjadi PTM 50 persen dan ada pula yang patuh kembali ke PJJ.
Sebelumnya, menanggapi kenaikan kasus pemerintah telah mengeluarkan aturan sekolah-sekolah di daerah dengan PPKM Level III hanya boleh menggelar PTM 50 persen sedangkan sekolah di wilayah PPKM Level IV harus menggelar PJJ. Tapi, banyak pula sekolah di wilayah Level III tetap melaksanakan PJJ. Tentu ini membuat bingung, bagaimana semestinya aturan PTM ini dilaksanakan?
Selain angka kasus positif yang semakin meningkat, vaksinasi Covid-19 untuk anak-anak sekolah juga belum merata. Terutama untuk anak usia 6-11 tahun. Banyak dari mereka baru mendapat dosis pertama saat aturan PTM 100 persen dikeluarkan. Padahal vaksinasi penuh merupakan salah satu upaya melindungi anak-anak dari penularan Covid-19.
Bahkan menurut beberapa teman di daerah, sosialisasi dan edukasi vaksinasi di sana jauh dari ideal. Jangankan untuk anak, banyak yang tak menganggap perlu vaksinasi Covid-19 untuk dewasa maupun lansia.
Selain soal ketidakseragaman penerapan aturan dan tak meratanya vaksinasi, satu hal lagi yang jadi ganjalan PTM adalah kurangnya kesadaran para orang tua di rumah akan kondisi anak dan sekitar. Terlebih gejala varian baru Covid-19 ini layaknya flu dan batuk pada umumnya.
Banyak kasus yang terjadi anaknya batuk pilek, demam, radang namun orang tua tetap membiarkan anak sekolah. Atau ada pula yang di dalam rumahnya ada yang sakit seperti itu dan anak-anak tetap di biarkan ke sekolah. Mereka umumnya juga tak mau tes swab, karena khawatir jika positif.
Padahal dengan seperti itu, si anak besar kemungkinan menularkan kepada teman-teman atau guru di sekolah. Semestinya, orang tua sadar betul kalau varian terbaru Covid kali ini sangat mirip gejalanya dengan penyakit flu dan batuk, sehingga jika anak mengalami kondisi serupa ya jangan dibiarkan ke sekolah. Biarkan mereka sampai sembuh benar baru sekolah tatap muka.
Guru di sekolah pun tak boleh lemah dalam pengawasan. Jika didapati anak yang sakit, walau hanya sekadar flu atau batuk, sebaiknya diminta pulang. Dengan pengawasan dan pelaksanaan protokol kesehatan dari semua pihak tentu dapat menekan lonjakan kasus, sehingga pelaksaan PTM bisa kembali digelar.
Covid-19, memang berdampak cukup besar pada pendidikan anak-anak. Bagaimana tidak, sistem PJJ atau belajar daring kerap membuat anak-anak kehilangan kesempatan belajar dengan layak. Mendikbud menyebutnya dengan istilah learning loss.
Menurunnya angka kasus akhir tahun lalu, berbarengan dengan dimulainya vaksinasi anak 6-11 tahun sempat membawa angin segar bagi penyelenggaraan pendidikan dengan sistem tatap muka. Sayangnya kondisi itu harus kembali terenggut dengan meningkatnya kasus akibat varian Omicron.
Namun dengan mulai kembali diberlakukannya PTM 50 persen mulai awal pekan lalu di sejumlah daerah di Indonesia diharapkan bisa jadi pertanda baik. Asalkan sekali lagi, pengawasan dan protokol kesehatan ketat diterapkan. Vaksinasi dilakukan. Semoga ini bisa kembali menjadi awalan baik penyelenggaraan pendidikan di masa pandemi Covid-19.