Oleh : Esthi Maharani, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Hubungan Ukraina dengan Rusia telah memanas sejak Februari 2014, yakni ketika massa antipemerintah berhasil melengserkan mantan presiden Ukraina yang pro-Rusia, Viktor Yanukovych. Pelengseran itu merupakan buntut atas keputusan Yanukovych membatalkan kerja sama dengan Uni Eropa. Rusia dituding menekan Yanukovych untuk mengambil keputusan itu. Moskow memang disebut tak menghendaki Kiev lebih dekat atau bergabung dengan Uni Eropa.
Ukraina membentuk pemerintahan baru pasca-pelengseran Yanukovych. Namun Rusia menentang dan memandang hal tersebut sebagai kudeta. Tak lama setelah kekuasaan Yanukovych ditumbangkan, Moskow melakukan aksi pencaplokan Semenanjung Krimea. Kala itu terdapat kelompok pro-Uni Eropa dan pro-Rusia di Ukraina. Kelompok separatis pro-Rusia merebut sebagian besar dua wilayah timur Ukraina yang dikenal sebagai Donbass. Pertempuran pun berlangsung di sana dan telah memakan 14 ribu korban jiwa.
Babak baru ketegangan di perbatasan Ukraina-Rusia meningkat sejak Rusia dilaporkan mengerahkan lebih dari 100 ribu pasukannya ke zona terdepan pada November 2021. Kala itu, citra satelit menunjukkan Moskow juga menempatkan ribuan tentaranya di perbatasan Ukraina di utara yang berbatasan dengan Belarus. Ukraina pun menuduh Rusia telah memobilisasi 100 ribu tentara bersama dengan tank dan peralatan militer lainnya.
AS dan NATO telah menuding Rusia memiliki intensi untuk melancarkan agresi ke Kiev. Namun Rusia membantah tudingan tersebut. Moskow mengklaim pengerahan pasukan itu hanya untuk keperluan latihan militer rutin. Kendati demikian, AS dan NATO telah menyatakan dukungannya kepada Ukraina. Mereka pun sudah mengancam akan menjatuhkan sanksi jika Rusia melancarkan serangan.