REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ridwan Saidi, Politisi Senior, Sejarawan, dan Budayawan Betawi.
Foto di atas, tampak peti jenasah almarhum Bang Husni Thamrin berselubung merah putih diantar ribuan orang ke makam di Karet.
Tulisan ini sumber utamanya brosur partai Parindra cabang Betawi tahun 1941 berkenaan dengan wafatnya Muhamad Husni Thamrin pada tanggal 11 Januari 1941.
Thamrin berdiam di Jl Sawah Besar No. 32 bersama isteri serta seorang anak perempuannya,mdan bujang nama Entong. Pada awal Desenber 1940 Thamrin dapat tugas Volksraad ke Aceh dengan ditemani isteri. Tiba dari Aceh Thamrin rehat 1-2 hari lalu pergi lagi ke Jogya dengan isteri karena ada acara Parindra.
Balik lagi Jakarta Thamrin kaget karena rumahnya berantakan. Bahkan telpon diputus. Kata puterinya ini perbuatan polisi Belanda.
Tak lama polisi Belanda muncul bawa surat yang isinya menyatakan Thamrin tahanan rumah dengan tuduhan bersama Setiabudi melapor kepada Jepang mengenai ekonomi Belanda morat marit.
Beberapa hari kemudian Thamrin jatuh sakit. Ia isoman dan dirawat Dr Kayadu, seorang pejuang. Kayadu hubungi pihak Belanda yang jaga di rumah Thamrin kasih tahu sakit Thamrin berat dan harus dirawat di Rumkit, tak bisa isoman.
Kayadu: Saya tak bisa dampingi Bang Thamrin siang malam. Beliau harus dirawat di rumah sakit.
Belanda: Saya bilang tidak, tidak! Mengérti?
Nyonya Thamrin dan puteri menangis terus di ruang tengah. Itu tanggal 11 Januari 1941.
Entong temani Bang Thamrin di kamar. Bang Thamrin kasih isyarat ke Entong minta air. Entong keluar kamar ambil air minum. Ketika ia masuk kamar lagi, Bang Thamrin sudah berpulang.
Dengan tenang Entong permisi ke Ny Thamrin mau ke rumah Siti Sarah, kakak Thamrin di Jl Raya Taman Sari, sekarang. Jalan kaki sekitar lima menit dari rumah Bang Thamrin. Tapi penjaga Belanda mencegah . Entong melawan. Tukang-tukang becak kumpul. Belanda mengalah. Setelah khabar tiba di ibu Siti Sarah maka khabar pun pecah sedunia. Pemakaman esok harinya.