Oleh : Nidia Zuraya, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Saat ini masyarakat Indonesia seakan sedang mengalami dejavu. Tempe dan tahu mendadak menghilang di lapak pedagang. Pasokan tempe dan tahu terhenti karena para produsen sedang melakukan aksi mogok sebagai sikap protes melonjaknya harga bahan baku.
Awal Januari 2021 lalu, aksi serupa juga dilakukan para produsen tempe tahu. Pemicunya sama, harga kedelai yang menjadi bahan baku utama pembuatan tempe dan tahu naik signifikan.
Aksi mogok pada Januari tahun lalu bukan kali pertama dilakukan produsen tempe tahu. Menurut jejak digital di internet, aksi yang sama juga pernah terjadi pada Juli 2012 dan September 2013.
Hingga hari ini, produsen masih mengandalkan kedelai impor sebagai bahan baku pembuatan tempe tahu. Penyebabnya karena pasar dalam negeri belum mampu memenuhi bahan baku tersebut, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas.
Produsen tempe tahu mengklaim bahwa kedelai lokal hanya cocok untuk bahan baku pembuatan tahu. Dari sisi kuantitas, berdasarkan catatan Gabungan Koperasi Tahu Tempe Indonesia (Gakoptindo), kebutuhan nasional kedelai untuk tahu dan tempe sebanyak 3 juta ton per tahun.
Sebanyak 1 juta ton untuk tahu dan 2 juta ton untuk tempe. Saat ini kedelai lokal hanya memenuhi sekitar 10 persen dari kebutuhan nasional. Keinginan Indonesia untuk mewujudkan swasembada kedelai hingga hari ini pun masih sebatas mimpi.
Memang, Indonesia pernah berhasil meraih swasembada kedelai tahun 1992. Pada saat itu, lahan bertanam kedelai mencapai 1,62 juta hektare (ha), sehingga produksi mencukupi. Tapi produksi kedelai nasional terus menurun seiring menyusutnya luas lahan pertanian.
Alhasil, jumlah impor kedelai terus meningkat. Berdasarkan catatan Kementerian Pertanian, impor pada tahun 2015 dan 2016 berjumlah sekitar 2,3 juta ton. Pada 2017, naik menjadi 2,7 juta ton dan sempat turun menjadi 2,6 juta ton pada 2018.
Pada 2019, impor kedelai untuk bahan baku industri tempe tahu mencapai 2,67 juta ton. Volume impor kedelai turun menjadi 2,31 juta ton pada 2020 dan naik menjadi 2,49 juta ton pada tahun 2021.
Kedelai impor Indonesia paling banyak di pasok dari Amerika Serikat (AS). Negeri Paman Sam itu memang eksportir kedelai terbesar dunia. Selain dari AS, Indonesia juga mengimpor kedelai dari Kanada, Argentina, Brasil, Malaysia, Prancis, India, Jepang, Kroasia, dan Singapura.
Baca juga : Harga Kedelai Naik, Pengusaha Tahu Tempe di Depok Gelar Aksi Mogok Kerja
Untuk mendapatkan pasokan kedelai impor ini Indonesia harus bersaing dengan China. Indonesia merupakan negara dengan konsumsi kedelai terbesar kedua dunia di bawah China.
Tak hanya dengan China, kini Indonesia juga harus bersaing dengan negara-negara konsumen minyak kedelai, seperti India dan Paraguay. India, merupakan konsumen minyak nabati terbesar dunia.
Kekeringan parah yang melanda kawasan Amerika Selatan membuat produksi kedelai menurun drastis. Selama ini India mengandalkan kedelai impor dari dua negara Amerika Selatan, Argentina dan Brasil. Namun produksi yang rendah dari kedua eksportir kedelai ini memaksa India untuk beralih ke kedelai AS.
Sementara industri pengolah minyak kedelai Paraguay yang selama ini mengandalkan bahan baku dari dalam negeri mendesak pemerintah untuk melakukan importasi kedelai untuk pertama kalinya. Hal itu diminta demi menjaga agar pabrik mereka tetap dapat beroperasi setelah mengalami krisis pasokan kedelai lokal akibat kekeringan
Persaingan ketat untuk mendapatkan kedelai di pasar global tentunya akan membuat harga kedelai bertahan tinggi. Sebagai konsumen terbesar dunia setelah China, Indonesia tidak bisa mengendalikan harga kedelai di pasar global.
Baca juga : Perajin Tahu Tempe Bekasi Diminta Tetap Jualan, Ukurannya Dikurangi
Yang bisa dilakukan pemerintah saat ini untuk mengurangi tekanan kenaikan harga kedelai impor adalah dengan menghapus bea masuk impor kedelai. Untuk jangka panjang agar makanan khas Indonesia ini tak lagi menghilang di pasar, mimpi untuk berswasembada kedelai harus segera direalisasikan.
Sebagai negara yang pernah berhasil meraih swasembada kedelai, tentu hal tersebut mudah diwujudkan. Yang dibutuhkan untuk mewujudkan adalah dukungan politik dari seluruh pemangku kepentingan.