Sabtu 26 Feb 2022 13:52 WIB

Terapi Cahaya Bisa Kurangi Risiko Diabetes? Ini Catatan Studi

Studi lakukan hubungan antara cahaya buatan dengan resistensi insulin.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Resistensi insulin dianggap sebagai pintu gerbang diabetes tipe 2, penyakit yang bisa memicu komplikasi dan meningkatkan risiko kematian dini.
Foto: Essential Health Info
Resistensi insulin dianggap sebagai pintu gerbang diabetes tipe 2, penyakit yang bisa memicu komplikasi dan meningkatkan risiko kematian dini.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Resistensi insulin dianggap sebagai pintu gerbang diabetes tipe 2, penyakit yang bisa memicu komplikasi dan meningkatkan risiko kematian dini. Resistensi insulin adalah kondisi ketika insulin tidak bekerja efektif sehingga kadar gula meningkat.

Baru-baru ini, tim peneliti berteori bahwa perubahan sosial seperti peningkatan paparan cahaya buatan mungkin menjadi salah satu faktor yang terkait dengan peningkatan global pada orang dengan resistensi insulin.

Baca Juga

Seperti dilaporkan dalam jurnal Diabetologia, Prof Patrick Schrauwen, Jan-Frieder Harmsen, dan peneliti lain menguji hipotesis mereka dengan mempelajari individu yang sudah memiliki resistensi insulin. Para ilmuwan mendasarkan studinya pada hasil penelitian sebelumnya yang menyebut bahwa cahaya adalah zeitgeber –sebutan untuk seluruh faktor eksternal yang membantu mengontrol ritme sirkadian tubuh.

Manusia memiliki ritme sirkadian atau jam biologis sendiri. Honorary Consultant diabetes di Imperial College London, Dr Victoria Salem, mengatakan bahwa cahaya memberi isyarat kepada manusia melalui struktur otak khusus yang disebut nukleus suprachiasmatic yang terletak di kelenjar pineal.

“Misalnya, bayi sering bangun lebih awal di bulan-bulan musim panas ketika sinar matahari masuk ke dalam ruangan. Cahaya yang mengenai bagian belakang mata kita dirasakan oleh otak dan master clock kita, yang kemudian mengirimkan sinyal melalui sistem saraf atau hormon ke bagian lain dari tubuh seperti hati atau otot untuk mengatur pencernaan dan cara kita menggunakan bahan bakar,” jelas Salem seperti dilansir dari Medical News Today, Sabtu (26/2/2022).

Secara khusus, penulis studi berfokus pada bagaimana cahaya terang dan redup memengaruhi tubuh dengan mengukur kadar glukosa darah, kadar insulin, kadar melatonin, lemak dalam darah, pelepasan energi harian dan tingkat metabolisme tidur.

Para peneliti meminta peserta studi untuk menginap dua hari di respiration chamber sambil mengenakan jam tangan pemantau aktivitas. Ruang khusus itu memungkinkan para ilmuwan untuk mengukur jumlah oksigen yang dikonsumsi dan karbon monoksida yang dihasilkan.

Semua peserta juga mengonsumsi makanan yang sama dan melakukan aktivitas fisik yang serupa. Selanjutnya, para peneliti memaparkan 14 peserta ke dua variasi siang dan malam: 10 jam cahaya terang diikuti oleh 5 jam cahaya redup di malam hari, dan 10 jam cahaya redup di siang hari dan 5 jam cahaya terang sebelum tidur.

Dalam keadaan yang dikendalikan dengan hati-hati ini, para ilmuwan menemukan beberapa hasil menarik. Pertama, pelepasan melatonin secara signifikan ditekan dalam skenario malam hari yang terang. Kedua, mereka yang menghabiskan hari dalam cahaya terang memiliki kadar glukosa yang lebih rendah sebelum makan malam dan tingkat metabolisme yang lebih tinggi di malam hari.

Ketiga, metabolisme peserta juga melambat setelah makan malam pada individu dalam skenario malam hari-terang redup. Keempat, pada orang yang menghabiskan hari dalam cahaya terang dengan malam yang redup, kadar melatonin meningkat di malam hari yang mendorong tidur.

Para peneliti menyimpulkan bahwa waktu paparan cahaya dapat mempengaruhi beberapa hal termasuk penanganan glukosa dan lemak tubuh, penggunaan dan pengeluaran energi, bahkan pengaturan suhu pada individu yang resisten terhadap insulin.

Merujuk pada studi tersebut, Dr Salem menyatakan bahwa cahaya alami telah dikaitkan dengan peningkatan halus dalam parameter metabolisme tertentu. Yang paling menarik, ini membantu tingkat metabolisme yang lebih tinggi di malam hari, sehingga baik untuk membakar kalori.

“Efek yang dijelaskan di sini mungkin kecil, tetapi tetap penting. Sebab ini menjadi pendekatan holistik untuk meningkatkan kesejahteraan yang meliputi pencahayaan yang sehat, menjaga ruangan tetap sejuk di malam hari adalah saran yang bagus,” lanjut Dr Salem.

“Saya percaya bahwa penelitian ini memberitahu kita sesuatu yang penting bahwa tidur yang baik di malam hari dan mengurangi screen time adalah ide bagus sebagai bagian dari pendekatan holistic untuk kesehatan metabolisme,” tambah Salem.

Penulis penelitian merekomendasikan penelitian lebih lanjut di dua bidang yaitu tentang bagaimana paparan cahaya memengaruhi pelepasan energi, dan studi tentang bagaimana kontrol pencahayaan yang bijaksana dapat meningkatkan hasil kesehatan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement