REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah studi baru yang digagas oleh tim dokter dan ilmuwan di Providence Research Network melacak efektivitas vaksin Covid-19. Utamanya, dalam mencegah infeksi parah yang mengakibatkan rawat inap.
Temuan studi telah dirilis di The Lancet Respiratory Medicine. Penelitian menunjukkan penurunan efektivitas perlindungan vaksin secara substansial setelah enam bulan, jika tidak dilakukan suntikan booster.
Riset memeriksa data dari hampir 50 ribu pasien yang dirawat di rumah sakit antara April hingga November 2021. Berdasarkan studi, vaksin 94 persen efektif mencegah rawat inap 50-100 hari setelah pasien menerima suntikan.
Efektivitas itu turun menjadi 80,4 persen 200-250 hari kemudian, dengan penurunan yang lebih cepat lagi setelah 250 hari. Studi juga mengidentifikasi faktor-faktor yang terkait dengan penurunan efektivitas vaksin.
Faktor risiko utama untuk infeksi terobosan (breakthrough infection) yang parah termasuk usia lanjut (umur di atas 80 tahun) serta penyakit penyerta, seperti kanker, transplantasi, penyakit ginjal kronis, hipertensi, atau gagal jantung. Beberapa faktor lain yakni jumlah waktu yang telah berlalu sejak divaksinasi dan jenama vaksin yang didapat.
Studi juga menemukan bahwa vaksin Moderna menawarkan perlindungan keseluruhan terbaik dari waktu ke waktu. Vaksin Pfizer-BioNTech menawarkan perlindungan awal yang setara dengan Moderna, tetapi kemudian menurun lebih cepat.
Penerima vaksin Janssen (Johnson & Johnson) memiliki peluang lebih tinggi mengalami infeksi terobosan parah dibandingkan Moderna. Kepala petugas klinis Providence, Amy Compton-Phillips, menyampaikan bahwa data tersebut membantu tim peneliti memahami perbedaan mendasar.
Khususnya, perbedaan antara memudarnya perlindungan berdasarkan jenis vaksin dan mengidentifikasi faktor risiko utama untuk infeksi terobosan parah. Hasilnya bisa digunakan untuk membantu menginformasikan penargetan program penguat vaksin potensial.