Rabu 02 Mar 2022 03:24 WIB

Era Digital Picu Pencurian Data Perusahaan Hybrid 

Kerja hybrid menjadi celah bagi penjahat siber untuk mencari keuntungan.

Rep: Novita Intan/ Red: Dwi Murdaningsih
Ilustrasi Serangan Siber
Foto: Mgrol101
Ilustrasi Serangan Siber

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada era serba digital, penting bagi organisasi maupun individu agar menyadari bahayanya dengan kejahatan siber yang mengintai. Dilansir dari data Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), terdapat lebih dari 1,6 miliar anomali trafik yang terlacak sepanjang 2021, tiga terbesar dilaporkan terjadi situs pendidikan, situs swasta, dan situs milik pemerintah daerah. 

Head of Governance Risk Control & Technology Consulting RSM Indonesia Angela Simatupang mengatakan cybersecurity culture menjadi penting karena dengan adanya hybrid office seperti sekarang ini, pelaku kejahatan siber memiliki lebih banyak kesempatan dapat bertindak. 

Baca Juga

“Ada banyak hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan keamanan siber, antara lain dengan perilaku seluruh insan organisasi yang sadar akan proteksi data, konsistensi dari komunikasi internal terkait keamanan data dan teknologi, program yang terencana dan terimplementasi yang baik untuk membangun budaya sadar keamanan siber,” ujarnya dalam keterangan resmi, Selasa (1/3/2022).

Sementara itu, Partner Technology Risk Consulting RSM Indonesia Ponda S Hidajat dan Senior Manager Technology Risk Consulting RSM Indonesia Erikman D. Pardamean menambahkan pentingnya awareness dan berjalannya budaya keamanan siber organisasi. Adapun perangkat dan aplikasi yang umum digunakan seperti Microsoft, Facebook, Twitter, Canva, dan banyak lainnya tidak luput dari serangan breaches dan hacking. 

Menurut pantauan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), sepanjang 2021, dari anomali trafik yang terdeteksi, terdapat 1,6 miliar pergerakan anomali di dunia siber yang terdeteksi dan 7,9 juta berasal dari pergerakan malware dan 5,4 juta dari phising.

“Data terbaru menunjukkan sebanyak lebih dari empat ribu pengguna data sektor pemerintahan telah terinfeksi oleh malware. Dengan kondisi ini kita harus lebih peduli dengan keamanan sistem yang kita gunakan dan disarankan mengganti password akun yang dimiliki secara berkala guna menghindari information phising dan hacking,” ucapnya.

Technology Risk Consulting Senior Manager RSM Indonesia Erikman D. Pardamean menambahkan berdasarkan survei yang diadakan oleh RSM Indonesia dalam special report: Emerging Threats in Cybersecurity, 36 persen responden berpendapat protokol keamanan siber harus diperbarui, dan 22 persen lainnya berpendapat kebijakan privasi juga harus diperbarui secara berkala. 

Selanjutnya, sebanyak 46 persen gangguan tahap operasional diperkirakan sebagai bentuk gangguan paling parah di dunia siber, dan 29 persen beranggapan kerugian finansial merupakan kerugian terbesar yang dapat dialami organisasi.

“Menurut survei, 59 persen responden percaya dengan keamanan data organisasi mereka dan 83 persen menyatakan bahwa keamanan siber telah menjadi prioritas di organisasi mereka. Sebanyak 70 persen responden melihat ancaman terbesar berasal dari pihak eksternal seperti hacker dan pelaku kejahatan siber,” ucapnya. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement