Oleh : Fuji Pratiwi, Jurnalis Republika
REPUBLIKA.CO.ID, Beberapa waktu lalu, kita dengar warga desa yang sudah mendapat kompensasi pembelian lahan untuk kilang Pertamina akhirnya minta pekerjaan ke perusahaan migas itu. Padahal saat menerima uang kompensasi, kita juga sama-sama membaca berita mereka mendadak kaya. Foto-foto belasan mobil dibeli bareng oleh warga desa itu juga seliwean di media sosial.
Belakangan ini, kita juga ramai dengar banyak orang merasa tertipu oleh para influencer yang mempromosikan sebuah platform investasi ilegal. Bahkan ada yang mengaku habis uangnya sekian miliar akibat investasi ilegal itu. Mereka terbuai flexing ala influencer yang mempromosikan platform tersebut. Beberapa influencer kemudian dipanggil dan diberi peringatan oleh regulator.
Di lingkaran pemerintah, pencairan Jaminan Hati Tua (JHT) yang mensyaratkan klaim dilakukan peserta pada usia 56 tahun juga menuai reaksi para pekerja. Hal itu dianggap menyulitkan bila para pekerja kena PHK dan perlu dana. Meskipun belakangan, aturan itu dibatalkan dan pencairan JHT kembali ke peraturan lama, bahkan kabarnya akan semakin dipermudah.
Seperti yang pernah saya tulis, isu soal keuangan amat sangat sensitif. Keuangan negara saja banyak yang melototi, apalagi yang berkaitan dengan keuangan personal. Kalau sudah menyangkut keuangan perorangan, perlawanan sengit akan dikumandangkan pada hal-hal yang dianggap mengganggu.
Literasi keuangan
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah tiga kali melakukan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) yakni pada 2013, 2016, dan 2019. Hasilnya menunjukkan indeks literasi keuangan pada tiga tahun tersebut adalah 21,8 persen, 29,7 persen, dan 38,0 persen. Sementara indeks inklusi keuangan untuk tahun yang sama berturut-turut adalah 59,7 persen, 67,8 persen, dan 76,2 persen.
Jika melihat angka inklusi yang lebih besar dari literasi, maka bisa jadi masyarakat cenderung menggunakan produk jasa keuangan tanpa tahu betul apa produk itu sebenarnya.
Ketiga contoh kasus di awal, menurut saya, bermuara pada literasi keuangan. Melek cara mengelola keuangan personal dan keuangan keluarga, mungkin terdengar sepele. Namun, dalam pandangan saya, hal itu penting.
Justru saat penghasilan terbatas, alokasi pengeluaran bisa lebih teliti. Ini melatih kebiasaan mengendalikan uang untuk dibelanjakan. Penting juga melatih kebiasaan menabung. Itu merupakan hal mendasar. Misalnya, menabung untuk dana darurat kalau aset produktif hilang.
Investasi juga perlu ilmu. Harus. Agar kita tahu risikonya dan tahu pula cara membedakan investasi legal dengan investasi bodong. Investasi perlu dipelajari agar bisa dimanfaatkan untuk mempersiapkan rencana masa depan seperti dana pendidikan anak atau dana pensiun.
Kalaulah belajar investasi pasar modal, fintech, atau aset kripto terlalu ruwet, banyak ilmu keuangan yang bijak dari orangtua yang tetap relevan sampai sekarang. Seperti, kalau punya uang, belilah emas. Kalau punya tanah, bertani atau buat kontrakan. Jangan lupa juga, kalau punya uang, bikin usaha: buka warung, reseller produk, jual makanan di media sosial, atau bisnis lain yang halal.
Edukasi keuangan memang jalan panjang. Karena semua orang ingin sejahtera, selamanya. Namun, tidak semua orang paham dan mau menjalani cara yang benar.
Buat para influencer, regulator, pelaku jasa keuangan, dan kita semua yang suka dimintai rekomendasi produk jasa keuangan, ayo edukasi masyarakat dan orang-orang terdekat dengan benar! Kalau mengenalkan produk keuangan, sampaikan juga risikonya. Supaya mereka yang meminta rekomendasi bisa mengambil keputusan dengan pertimbangan yang lengkap, tahu untung ruginya.