REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pendiri dan CEO Telegram Pavel Durov angkat bicara soal masalah privasi pengguna. Pada Senin (7/3/2022), ia mengunggah saluran Telegram publiknya dan tentang sejarahnya melindungi data pengguna dari pemerintah Rusia.
“Saya mendukung pengguna kami apa pun yang terjadi. Hak privasi mereka adalah yang utama,” kata Durov dalam akun Twitternya @durov.
Dia juga mengunggah cuitan tautan ke postingan yang mengatakan ia tidak menyesal tentang tindakan masa lalunya melawan pemerintah dan akan melakukannya lagi tanpa ragu-ragu. Namun, hal yang tidak diberikan Durov di Telegram atau Twitter adalah jaminan data pengguna Telegram aman.
Mungkin ada masalah terjemahan yang sedang dimainkan karena Durov berbicara bahasa Rusia dan Inggris, ada kemungkinan ia menggunakan alat seperti terjemahan Google untuk membantu menulis cuitan.
Namun, pernyataan ia mendukung pengguna dan hak privasi mereka, tidak sama dengan janji tegas untuk tidak menyerahkan data kepada pemerintah Rusia. Tidak ada jaminan data pengguna aman dari peretasan dan kebocoran.
Durov adalah pendiri jaringan sosial yang masih berada di Rusia. Durov menulis dalam postingannya pada awal 2010-an, pemerintah Rusia menekannya untuk menyerahkan data orang-orang Ukraina yang menentang pemimpin Ukraina yang bersahabat dengan Rusia saat itu. Durov menolak dan akhirnya kehilangan kendali atas VK dan melarikan diri dari negara itu dan hari ini VK dikendalikan oleh negara.
Setelah VK dikendalikan oleh negara, kemudian ia mendirikan Telegram, sebuah platform pesan dan saluran publik yang merupakan cara orang dapat menyiarkan pandangan dan berita serta dapat bertindak seperti forum. Pada tahun 2018, pemerintah Rusia memutuskan untuk menutup Telegram, tetapi akhirnya membatalkan inisiatif tersebut pada tahun 2020.
Dilansir Mashable, Selasa (10/3), saat ini, Telegram adalah platform perpesanan terbesar kedua di Rusia setelah WhatsApp dengan 38 juta pengguna aktif bulanan pada tahun 2020. Jadi, Durov sebenarnya memiliki sejarah melindungi data pengguna, bahkan dengan risiko pribadi yang besar.
Tetapi para ahli khawatir fakta bahwa Telegram bukan platform terenkripsi ujung-ke-ujung akan membuatnya rentan. Ada kemungkinan infrastruktur Telegram dapat diretas atau data pengguna dapat dirilis oleh seseorang di dalam.