REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Guru Besar Studi Media Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (Unair), Rachmah Ida, mengungkapkan bahwa korban catfishing paling banyak ialah perempuan. Ia menyebut, hal itu dikarenakan adanya stereotip bahwa perempuan adalah kaum lemah dan mudah dibohongi.
"Maka dari itu, pelaku catfishing, baik laki-laki atau perempuan, lebih banyak menyasar korban perempuan," kata Ida, Rabu (9/3/2022).
Ida menjelaskan, catfishing adalah perilaku menyembunyikan identitas asli di sosial media. Perilaku tersebut juga kerap disebut deceitful.
"Motivasi seseorang yang melakukan catfishing secara disengaja bertujuan untuk mengelabui orang lain atau tidak ingin menunjukkan identitas orientasi seksualnya secara publik," ungkap Ida.
Sedangkan pelaku catfishing yang tidak disengaja, menurut Ida, dikarenakan orang itu belum memahami jati dirinya. Orang tersebut tidak sengaja melakukan catfish karena kurang percaya diri, namun memiliki niat untuk membuka identitas aslinya ketika sudah merasa nyaman dengan pasangannya.
Untuk mengetahui seseorang melakukan catfishing di media sosial, Ida memaparkan beberapa gaya komunikasi dan gestur yang biasanya dilancarkan pelaku. Biasanya, pelaku tidak percaya diri dan tidak konsisten menjelaskan sifat dirinya.
"Jika komunikasi semakin sering, maka pelaku akan cenderung melakukan ghosting atau terus-menerus berbohong untuk menyembunyikan identitas aslinya," ujarnya.
Cara yang bisa dilakukan untuk menghindari perilaku catfishing adalah dengan memancing seseorang untuk membuka identitasnya melalui beberapa topik pembicaraan. Pembicaraan terkait hobi atau musik bisa menjadi awalnya.
"Pastikan untuk mencari identitas lawan bicara kita di Google atau Open Sea," kata dia.