Oleh : Mas Alamil Huda, Jurnalis Republika
REPUBLIKA.CO.ID, Susah untuk tidak mempercayai adanya skenario perpanjangan masa jabatan presiden melalui penundaan Pemilu 2024. Sebab, tiga partai politik (parpol) koalisi pemerintah yang hampir serempak melontarkan wacana penundaan pemilu pasti bukan sebuah kebetulan. Dan suara senada di waktu bersamaan, biasanya ada dirigen. Dalam konteks ini, kepentingan bisa saja tidak tunggal.
Kritik dari berbagai kalangan, mulai dari politisi senior seperti Jusuf Kalla hingga kalangan akademisi terus mengalir deras pascawacana itu dilempar ke publik. Berbagai argumen melatari penolakan. Benang merah atau kesamaan sekaligus puncak dari isu penundaan pemilu adalah memunggungi reformasi dan menabrak konstitusi. Sebab konstitusi mengamanatkan pemilu, termasuk pemilihan presiden dan wakil presiden, dilakukan lima tahun sekali.
Presiden Jokowi merespons wacana penundaan pemilu dengan menyatakan akan taat, tunduk, dan patuh pada konstitusi. Dalam kalimat ini, tafsir konteks hari ini bisa berarti presiden mematuhi penyelenggaraan pemilu tetap di tahun 2024. Tetapi kalimat ‘siapa saja boleh mengusulkan wacana penundaan pemilu dan perpanjangan’ yang diucap sebelum kalimat ‘patuh konstitusi’, maka tafsir bisa menjadi lain.
Jika konstitusi diubah dengan ragam alasan dan serangkaian proses hingga ‘menyepakati’ pemilu ditunda, maka menerima kesepakatan penundaan juga berarti menaati konstitusi. Artinya, ‘menaati konstitusi’ yang diucap Presiden Jokowi belum bisa mutlak diartikan menolak perpanjangan masa jabatan.
Jawaban presiden kali ini juga jauh ‘melemah’ dibandingkan pernyataan beliau pada Desember 2019 yang menyebut pengusul tiga periode untuknya berarti ‘menampar mukanya’, ‘mencari muka’, dan menjerumuskannya. Bias pernyataan ‘semua berhak mengusulkan wacana penundaan pemilu’ itulah yang menurut saya berarti wacana penundaan pemilu dan juga perpanjangan masa jabatan presiden-wakil presiden belum benar-benar selesai.
Amandemen UUD
Partai koalisi pemerintah dalam pernyataan resmi secara terbuka memang terpecah sikapnya. PKB, PAN, dan Golkar sebagai pengusul gelombang pertama penundaan pemilu belum ada tambahan teman. PDIP, Gerindra, Nasdem, dan PPP mengambil sikap sebaliknya, setidaknya untuk sementara. Demokrat dan PKS di kamar oposisi terdengar samar-samar menolak. Suara mereka lebih banyak tertimpa pecahnya suara koalisi pemerintah.
Menunda pemilu berarti perlu mengubah konstitusi, salah satunya. Ini yang menurut ahli tata negara prosesnya tidak gampang, meski bukan tidak mungkin dilakukan. Ahli tata negara Prof Yusril Ihza Mahendra menyebut penundaan Pemilu 2024 bisa dilakukan dan bisa mendapatkan keabsahan dan legitimasi jika dilakukan dengan menempuh tiga cara.
Pertama, menurutnya, adalah dengan mengamandemen UUD 45. Kedua, presiden mengeluarkan dekrit sebagai sebuah tindakan revolusioner. Ketiga, menciptakan konvensi ketatanegaraan (constitutional convention) yang dalam pelaksanaannya diterima dalam praktik penyelenggaraan negara.
Dari ketiga cara tersebut, Yusril menilai amandemen UUD 1945 yang paling rendah risiko politiknya. Persoalannya, melakukan perubahan konstitusi tentu ada syaratnya, seperti dukungan fraksi di DPR dengan syarat suara minimal. Bagaimana jika parpol koalisi pemerintah saja suaranya terbelah? PKB, PAN, dan Golkar tentu belum cukup. Penolakan PDIP, Gerindra, Nasdem, dan PPP memang fakta hari ini. Tetapi konstelasi hari ini sangat mungkin berubah seiring waktu, terlebih jelang kian mendekat ke 2024.
Pernyataan Presiden yang bersayap dalam isu ini memungkinkan segalanya terjadi. Di sisi parlemen, kita jangan naif. Mempercayai sepenuhnya pernyataan politisi hari ini tidak akan berubah pada beberapa waktu ke depan, adalah kenaifan itu sendiri. Sangat mungkin apa yang kita dengar dan baca hari ini akan berubah beberapa waktu ke depan. Dengan segala silat lidah dan argumen akrobatik, sangat mungkin semua berubah.
‘Menghakimi’ PKB, PAN, dan Golkar saat ini sebagai pengkhianat reformasi atau apapun namanya, menjadi belum relevan. Kita tunggu saja ending-nya nanti. Sebab sampai saat ini pernyataan Pak Jokowi juga masih mengambang. Bisa saja nanti Pak Presiden akan lebih menegaskan sikapnya untuk menolak penundaan pemilu. Atau sebaliknya, dengan segala lobi akan mampu mengubah peta politik di parlemen.
Ungkapan klasik yang kerap digunakan adalah ‘yang tidak bisa diubah hanya kitab suci’ akan menjadi narasi bahwa mengamandemen konstitusi ‘tidak haram’. Sekali lagi, taat, patuh, dan tunduk pada konstitusi tidak berarti harus menolak untuk amandemen. Karena mengedit konstitusi melalui prosedur konstitusional juga tidak dilarang. Jika hasil amandemen mengamanatkan pemilu mundur, ya mematuhinya harus mengundur pemilu dengan alasan yang ‘direstui’ konstitusi.