Sabtu 12 Mar 2022 23:42 WIB

Hal Ini Bisa Tingkatkan Kematian Akibat Strok Hingga 40 Persen

Peneliti ungkap satu faktor yang bisa tingkatkan risiko kematian strok.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Nora Azizah
Peneliti ungkap satu faktor yang bisa tingkatkan risiko kematian strok.
Foto: Pixabay
Peneliti ungkap satu faktor yang bisa tingkatkan risiko kematian strok.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para ilmuwan mengungkap satu faktor yang dapat memicu kematian akibat stroke naik hingga 40 persen. Studi digagas pada 2009 oleh tim dari University of Alabama di Birmingham, Inggris.

Stroke terjadi ketika pembuluh darah pecah atau tersumbat oleh gumpalan. Kondisi tersebut membatasi otak untuk mendapatkan oksigen yang dibutuhkan. Akibatnya, sel-sel otak mulai mati dan memicu berbagai gejala lanjutan.

Baca Juga

Berdasarkan hasil studi, faktor yang meningkatkan risiko kematian akibat stroke adalah lokasi tempat seseorang berdomisili. Orang yang tinggal di area yang dijuluki Stroke Belt atau Stroke Alley berisiko lebih besar.

Stroke Belt adalah wilayah besar di sebelah tenggara Amerika Serikat yang menunjukkan tingkat penyakit stroke dan kematian akibat stroke sangat tinggi. Jumlah tersebut apabila dibandingkan dengan negara lain.

Area Stroke Belt pertama kali diidentifikasi pada awal 1960-an oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC). Selain risiko kematian lebih besar, orang yang tinggal di sana berisiko 15 persen lebih tinggi mengidap stroke dibandingkan populasi AS pada umumnya.

Ada delapan negara bagian yang masuk dalam area Stroke Belt, yakni Alabama, Arkansas, Georgia, Louisiana, Mississippi, Carolina Utara, Carolina Selatan, dan Tennessee. Tiga negara bagian yang sering dianggap Stroke Belt yakni Indiana, Kentucky, dan Virginia justru tidak dimasukkan dalam penelitian ini.

Penulis studi University of Alabama di Birmingham (UAB), George Howard, menyoroti bahwa perbedaan geografis dan ras cukup berguna sebagai instrumen dalam memprediksi risiko stroke. Namun, kedua aspek tersebut hanya menjelaskan kurang dari setengah gambaran besar.

Profesor biostatistik di School of Public Health UAB itu menyebutkan faktor pemicu lain. Bisa jadi karena paparan alergen di rumah atau bisa juga pasien terpapar mikronutrien dalam air minum.

"Atau bisa juga faktor lain yang dianggap 'nontradisional' karena tidak termasuk dalam daftar sembilan faktor yang biasa digunakan untuk memprediksi risiko stroke," ungkap Howard, seperti dikutip dari laman Best Life Online, Sabtu (12/3/2022).

Warga di Stroke Belt juga diketahui memiliki tingkat diabetes dan hipertensi yang lebih tinggi. Dua kondisi itu dapat meningkatkan risiko seseorang mengidap stroke, serta kematian akibat stroke.

Artinya, intervensi yang menargetkan kedua kondisi tersebut dapat mengurangi disparitas geografis dan meningkatkan hasil perawatan pengidap stroke. Howard menyarankan peningkatan frekuensi skrining dan peningkatan perawatan tindak lanjut.

Perubahan gaya hidup seperti perbaikan pola makan, lebih sering berolahraga, dan berhenti merokok juga dapat menjadi opsi pencegahan stroke.

Temuan lain, Stroke Belt memiliki insiden penurunan kognitif yang lebih tinggi. Selain peningkatan risiko stroke, orang yang tinggal di wilayah Stroke Belt ditengarai lebih mungkin mengalami penurunan kognitif seiring bertambahnya usia.

Studi terpisah pada 2011 yang juga dipimpin oleh Howard menemukan warga Stroke Belt lebih sering menunjukkan tanda-tanda penurunan kognitif, dibandingkan dengan penduduk 40 negara bagian di luar Stroke Belt. Hal itu dipantau selama empat tahun periode studi.

Para peneliti belum menentukan apakah tingkat penurunan kognitif yang lebih tinggi disebabkan oleh stroke atau hal lain. Temuan 2011 telah diterbitkan dalam Annals of Neurology.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement