Sabtu 19 Mar 2022 11:59 WIB

Bos Teknologi Hadapi Ancaman Penjara di Bawah RUU Online Inggris yang Baru

RUU keamanan online Inggris dapat menindak platform teknologi penyebar konten bahaya

Logo aplikasi TikTok. RUU keamanan online Inggris dapat menindak platform teknologi penyebar konten berbahaya. Ilustrasi.
Foto: AP/Kiichiro Sato
Logo aplikasi TikTok. RUU keamanan online Inggris dapat menindak platform teknologi penyebar konten berbahaya. Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON - Bos teknologi menghadapi tuntutan pidana jika mereka gagal mematuhi aturan Inggris yang diusulkan yang bertujuan untuk memastikan orang aman online. Demikian diungkap pemerintah Inggris pada Kamis (17/3/2022) saat meluncurkan rancangan undang-undang di Parlemen.

RUU keamanan online yang ambisius tapi kontroversial akan memberi regulator kekuatan luas untuk menindak perusahaan media digital dan sosial seperti Google, Facebook, Twitter, dan TikTok. Pihak berwenang di Inggris Raya adalah garda depan gerakan global untuk mengendalikan kekuatan platform teknologi dan membuat mereka lebih bertanggung jawab atas materi berbahaya.

Baca Juga

Materi yang dimaksud yakni pelecehan seksual anak, konten rasis, intimidasi, penipuan, dan materi berbahaya lainnya yang berkembang biak di platform teknologi. Upaya serupa sedang dilakukan di Uni Eropa dan Amerika Serikat.

"Sementara internet telah mengubah kehidupan orang-orang, perusahaan teknologi belum dimintai pertanggungjawaban ketika bahaya, penyalahgunaan, dan perilaku kriminal telah membuat kerusuhan di platform mereka,” kata Sekretaris Digital Inggris Nadine Dorries dalam sebuah pernyataan dilansir Associated Press, Jumat (18/3/2022).

“Jika kita gagal bertindak, kita berisiko mengorbankan kesejahteraan dan kepolosan generasi anak-anak yang tak terhitung jumlahnya untuk kekuatan algoritma yang tidak terkendali,” imbuhnya.

RUU tersebut menghadapi perdebatan di Parlemen, di mana RUU itu dapat diubah sebelum anggota parlemen memilih untuk menyetujuinya sebagai undang-undang. Pemerintah telah memperketat undang-undang tersebut sejak pertama kali ditulis setelah komite anggota parlemen merekomendasikan perbaikan.

Perubahan termasuk memberi pengguna lebih banyak kekuatan untuk memblokir troll anonim, mengharuskan situs porno untuk memverifikasi pengguna berusia 18 tahun ke atas, dan membuat cyberflashing, atau mengirim gambar grafis yang tidak diminta kepada seseorang, sebagai pelanggaran pidana.

Eksekutif teknologi akan bertanggung jawab secara pidana dua bulan setelah undang-undang tersebut berlaku, bukan dua tahun setelahnya seperti yang diusulkan dalam draf asli. Perusahaan dapat didenda hingga 10% dari pendapatan global tahunan mereka karena pelanggaran.

Ada juga pelanggaran pidana yang lebih luas yang dapat mengakibatkan hukuman penjara hingga dua tahun dalam draf yang diperbarui. Awalnya, eksekutif teknologi menghadapi hukuman penjara karena gagal memberikan informasi akurat kepada regulator dengan cepat yang diperlukan untuk menilai apakah perusahaan mereka mematuhi aturan.

Sekarang, mereka juga akan menghadapinya karena menekan, menghancurkan, atau mengubah informasi yang diminta atau tidak bekerja sama dengan regulator, yang akan memiliki kekuatan untuk memasuki lokasi perusahaan teknologi untuk memeriksa data dan peralatan serta mewawancarai karyawan.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement