Senin 21 Mar 2022 07:49 WIB

YLKI: Mayoritas Penjual Galon tak Dapat Edukasi Cara Penyimpanan yang Benar

Cara penyimpanan yang buruk bisa memicu migrasi BPA pada galon AMDK

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Pekerja melintas di depan depo pengisian air minum dalam kemasan Daan Mogot, Jakarta. Ketua pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi mengungkap mayoritas penjual air minum dalam kemasan (AMDK), terutama Jabodetabek tidak mendapatkan edukasi dari produsen mengenai cara penyimpanan, penjualan yang baik dan benar. Perlu ada peringatan di label AMDK.
Foto: Antara/Rivan Awal Lingga
Pekerja melintas di depan depo pengisian air minum dalam kemasan Daan Mogot, Jakarta. Ketua pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi mengungkap mayoritas penjual air minum dalam kemasan (AMDK), terutama Jabodetabek tidak mendapatkan edukasi dari produsen mengenai cara penyimpanan, penjualan yang baik dan benar. Perlu ada peringatan di label AMDK.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, mengungkap mayoritas penjual air minum dalam kemasan (AMDK), terutama Jabodetabek, tidak mendapatkan edukasi dari produsen mengenai cara penyimpanan, penjualan yang baik dan benar. Perlu ada peringatan di label AMDK.

"Sebanyak 83 persen produsen tidak pernah melakukan edukasi, sementara 99,7 persen asosiasi tidak pernah melakukan edukasi kepada penjual. Mayoritas penjual merasa perlunya edukasi sebesar 63 persen," ujar Tulus saat pemaparan hasil survei YLKI bertajuk 'Monitoring dan Pengawasan, Pemasaran Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) di Jabodetabek', seperti dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Senin (21/3/2022).

Baca Juga

Ia menyoroti edukasi yang dilakukan industri dan asosiasi industri masih sangat kurang. Padahal, dia melanjutkan, industri/asosiasi industri punya tanggung jawab untuk mengedukasi mitra-mitra bisnisnya secara baik dan benar.

Tulus juga menyoroti mata rantai distribusi dari proses pengangkutan yang menggunakan truk/kendaraan terbuka, hingga pada proses penyimpanan yang tidak sesuai pada galon AMDK sangat berisiko terkena sinar matahari langsung  yang dapat berpotensi memicu migrasi BPA pada kemasan galon guna ulang. 

"85 persen kendaraan pengangkut AMDK galon tidak memenuhi syarat alias menggunakan kendaraan atap terbuka terpapar sinar matahari," ujarnya. 

Lebih lanjut, ia mengungkap salah satu rekomendasi YLKI dalam hasil survei yaitu perlu adanya tulisan peringatan pada label galon AMDK seperti Air Minum Dalam Kemasan yang menggunakan kemasan plastik polikarbonat wajib mencantumkan tulisan 'Berpotensi Mengandung BPA', serta 'Produk AMDK galon ini Berpotensi terjadi migrasi BPA Untuk Perhatian Konsumen Usia Rentan'. 

Sementara itu, Anggota Komisi IX DPR, Arzeti Bilbina mengingatkan mekanisme pengawasan paska pasar (post market) baik oleh pemerintah, industri/asosiasi industri sangat penting dilakukan, sehingga AMDK yang dikonsumsi oleh konsumen betul-betul sehat dan higenis. 

Ia menegaskan, konsumen berhak mendapatkan air yang terjamin kualitasnya sebagaimana UU Konsumen. 

"Kalau kita melihat hasil survey tersebut, masih banyak kelemahan dalam pengawasan. Karena itu Pemerintah perlu segera melakukan upaya sistematis untuk meningkatkan pengawasan, dalam hal ini BPOM," ujarnya.

Terpisah, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K Lukito berpandangan, dalam upaya perlindungan maksimal dan prima untuk masyarakat luas, BPOM sebagai otoritas pengawas obat dan makanan terus melakukan peninjauan (reviu) terhadap standar dan peraturan yang ada dengan melihat perkembangan dan kecenderungan yang berbasiskan pada ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang dengan cepat dan dinamis. Hal itu dikatakan Penny menanggapi pertanyaan berbagai pihak termasuk media terkait kebijakan pelabelan informasi tentang potensi kandungan Bisphenol A (BPA) pada Air Minum Dalam Kemasan (AMDK). 

Penny K Lukito mengatakan, setiap perubahan kebijakan yang menyangkut keamanan publik dan tentunya pelaku usaha, BPOM akan selalu melibatkan segenap pemangku kepentingan, diantaranya para pakar, Kementerian/Lembaga, perguruan tinggi, asosiasi industri, serta stakeholders terkait. 

"Kebijakan standar label pada kemasan AMDK sepenuhnya dilakukan berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, regulasi, dan data hasil pengawasan BPOM serta bukti ilmiah di Indonesia dan di negara-negara lain yang telah terlebih dahulu melakukan kajian mendalam dan perubahan standar yang dimaksud," ujarnya.

Penny K Lukito menambahkan, saat ini rancangan regulasi terkait pelabelan tersebut masih dalam proses penyusunan melalui tahapan sesuai ketentuan yang berlaku. Penny K Lukito menegaskan bahwa kebijakan pelabelan tidak sama sekali dimaksudkan untuk merugikan pelaku usaha, sebaliknya justru untuk melindungi mereka dari tanggung jawab (liabiliti) ke depan, dan dalam waktu bersamaan untuk memberikan perlindungan kesehatan jangka panjang kepada konsumen. 

"Sekali lagi ini harus dipahami dengan utuh, bahwa aspek keamanan AMDK terkait dengan potensi resiko kesehatan konsumen harus menjadi prioritas" katanya.

Karena itulah BPOM mengajak masyarakat untuk menjadi konsumen cerdas dalam membeli produk pangan. Selalu ingat Cek “KLIK” (Kemasan, Label, izin Edar dan Kedaluwarsa) sebelum membeli atau mengonsumsi produk pangan. 

"Pastikan kemasannya dalam kondisi utuh, baca informasi pada label, pastikan memiliki izin edar dari Badan POM RI, dan tidak melewati masa kadaluwarsa," ujarnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement