Senin 21 Mar 2022 18:52 WIB

Australia Desak Perusahan Tekno Bertindak Jika Ada Informasi Palsu Beredar

Australia meminta platform digital bertanggung jawab atas apa yang ada di situs.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Dwi Murdaningsih
Berita-berota hoaks terkait vakisn Covid-19 masih kerap ditemukan beredar (ilustrasi). Australia meminta platform digital bertanggung jawab atas apa yang ada di situs, terutama yang berkaitan dengan berita hoaks.
Foto: Republika
Berita-berota hoaks terkait vakisn Covid-19 masih kerap ditemukan beredar (ilustrasi). Australia meminta platform digital bertanggung jawab atas apa yang ada di situs, terutama yang berkaitan dengan berita hoaks.

REPUBLIKA.CO.ID, SYDNEY -- Otoritas Komunikasi dan Media Australia (ACMA) akan dapat memaksa perusahaan internet untuk memberikan data internal tentang cara menangani informasi yang salah dan disinformasi, Senin (21/3/2022). Keputusan terbaru oleh pemerintah negara itu untuk menindak perusahaan teknologi besar yang beroperasi di negara itu.

Badan pengatur media ini juga akan dapat menerapkan kode industri internet pada platform yang tidak kooperatif. Upaya itu bergabung dengan pemerintah di seluruh dunia yang melangkah untuk mengurangi penyebaran kebohongan yang berbahaya secara daring.

Baca Juga

"Platform digital harus bertanggung jawab atas apa yang ada di situs mereka dan mengambil tindakan ketika konten berbahaya atau menyesatkan muncul," kata Menteri Komunikasi Australia Paul Fletcher dalam sebuah pernyataan.

Rancangan Undang-Undang ini merupakan tanggapan terhadap laporan ACMA yang menemukan empat dari lima orang dewasa Australia telah mengalami kesalahan informasi tentang Covid-19. Sebanyak 76 persen berpikir platform daring harus berbuat lebih banyak untuk mengurangi jumlah konten palsu dan menyesatkan yang dibagikan.

Aturan tersebut secara luas sejalan dengan upaya Eropa untuk mengekang konten daring menyesatkan yang akan mulai berlaku pada akhir 2022. Meskipun Uni Eropa mengatakan, menginginkan tindakan yang lebih keras untuk menghentikan disinformasi mengingat beberapa klaim oleh media milik negara Rusia selama invasi ke Ukraina.

Tindakan keras itu juga terjadi ketika Perdana Menteri Australia Scott Morrison menghadapi pemilihan federal yang sengit bulan depan. Koalisi konservatif yang dipimpin Partai Liberal saat ini tertinggal dari oposisi utama Partai Buruh dalam jajak pendapat.

Dalam laporan baru ACMA, orang Australia kemungkinan besar melihat informasi yang salah pada layanan yang lebih besar seperti Facebook Meta Platforms dan Twitter Inc. Narasi palsu biasanya dimulai dengan postingan yang sangat emosional dan menarik dalam kelompok konspirasi daring secara terbatas.

"Kemudian Diperkuat oleh influencer internasional, tokoh masyarakat lokal, dan oleh liputan di media," ujar laporan ACMA.

Laporan itu juga mencatat disinformasi melibatkan penyebaran informasi palsu secara sengaja untuk mempengaruhi politik atau menabur perselisihan ini terus menargetkan warga Australia. Facebook telah menghapus empat kampanye disinformasi di Australia dari 2019 hingga 2020.

ACMA mencatat kelompok konspirasi sering mendesak orang untuk bergabung dengan platform yang lebih kecil dengan kebijakan moderasi yang lebih longgar, seperti Telegram. Jika platform tersebut menolak pedoman konten yang ditetapkan industri, maka dapat menghadirkan risiko yang lebih tinggi bagi komunitas Australia.

DIGI, sebuah badan industri Australia yang mewakili Facebook, Google Alphabet, Twitter, dan situs video TikTok, mengatakan pihaknya mendukung rekomendasi tersebut. Badan ini mencatat bahwa pihaknya telah menyiapkan sistem untuk memproses keluhan tentang informasi yang salah. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement