REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketimbang anak laki-laki, anak perempuan lebih mungkin untuk menganggap bahwa kurangnya bakat menjadi penyebab nilainya di sekolah jeblok. Kecenderungan itu tampak dari penelitian tentang stereotip gender yang diterbitkan di jurnal Science Advances pada Rabu (16/3/2022).
Paradoksnya, gagasan laki-laki secara inheren lebih cemerlang paling mengakar di negara-negara yang lebih egaliter. Stereotip semacam itu telah dieksplorasi di masa lalu, tetapi studi baru ini dikatakan memiliki sebuah keuntungan dari sisi jumlah partisipan, yakni 500 ribu siswa di seluruh dunia sehingga memungkinkan untuk membandingkan antarnegara.
Studi menggunakan data dari 2018 Program for International Student Assessment (PISA), sebuah penelitian yang dilakukan setiap tiga tahun untuk mempelajari lebih lanjut tentang pengetahuan dan keterampilan siswa berusia 15 tahun dalam matematika, membaca, dan sains. Survei pada 2018 memasukkan kalimat: "Ketika saya gagal, saya takut saya tidak memiliki cukup bakat."
Hasil studi terbaru, anak perempuan lebih cenderung mengaitkan kegagalan akademisnya dengan kurangnya bakat. Sementara itu, walaupun kinerja akademisnya sama jebloknya dengan anak perempuan, anak laki-laki lebih cenderung menyalahkan faktor eksternal.
Kecenderungan itu tampak di 71 dari 72 negara yang diteliti. Satu-satunya pengecualian ialah di Arab Saudi.
Bertentangan dengan apa yang diharapkan, perbedaan paling menonjol tampak di negara-negara yang bergabung dalam organisasi internasional yang bergerak di bidang kerjasama ekonomi dan pembangunan (OECD). Di negara-negara OECD, sebanyak 61 persen anak perempuan mengaku setuju dengan pernyataan itu, dibandingkan dengan 47 persen anak laki-laki.
Menurut studi, di negara-negara non-OECD, kesenjangan masih ada, tetapi perbedaannya hanya delapan persen. Perbedaannya juga lebih besar di antara siswa yang berkinerja lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang berkinerja rata-rata.
"Kami tidak memiliki penjelasan yang sempurna untuk paradoks ini," kata rekan penulis studi Thomas Breda dari CNRS dan Paris School of Economics, kepada AFP seperti dikutip dari Medical Daily, Selasa (22/3/2022).
Di sisi lain, studi menemukan dalam hal kepercayaan diri, anak laki-laki lebih cenderung belajar sains dan matematika. Menurut Breda, ini menunjukkan, sebagai negara berkembang, norma-norma gender tidak hilang, tetapi mengonfigurasi ulang.