Selasa 22 Mar 2022 17:25 WIB

Indonesia Dorong Pemberdayaan Big Data untuk Analisis dan Penyusunan Kebijakan Pembangunan

Jika data supply tersedia tetapi tidak dimanfaatkan, akan sangat percuma.

Big data (Ilustrasi)
Foto: Pixabay
Big data (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masifnya proses digitalisasi pada seluruh lini kehidupan pribadi, bermasyarakat, dan bernegara membuka peluang lebar dan tak terbatas bagi potensi pemanfaatan data. Big data atau sekumpulan data daring-dinamis yang kompleks dan bervolume besar yang menjadi keluaran dari proses digital tersebut menjadi andalan bagi beragam inovasi berbasis sistem teknologi dan informasi untuk dapat menyediakan layanan yang tepat sasaran bagi masyarakat. 

Inovasi terhadap peluang ini cenderung dimotori oleh berbagai jenis usaha profit seperti layanan beriklan melalui media sosial, transportasi, pesan-antar, hingga edukasi daring.  

Baca Juga

Beragam potensi utilisasi data tersebut juga perlu untuk dikawal dari sisi regulasi perlindungan data bagi masyarakat sebagai subyeknya. Sehingga, tidak hanya menghasilkan keluaran kebijakan yang efektif namun juga profesional dalam menempatkan masyarakat secara individu dan kelompok sebagai pemilik data sekaligus penerima kebijakannya. 

Praktik penerapan data thinking atau proses reoritentasi organisasi menjadi berbasis data pada level pengambilan kebijakan tersebut sudah cukup banyak dirintis oleh lembaga peneliti kebijakan yang kerap bekerja sama dengan pemerintah. Upaya multisektor ini diharapkan dapat mengintegrasikan upaya knowledge-to-policy (K2P) berbasis utilisasi data yang lebih baik, inklusif dan tepat sasaran.  

Membahas mengenai regulasi saat ini terkait perlindungan data pribadi yang dapat diakses dan diutilisasi pemerintah untuk proses perumusan kebijakan, Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Wahjudi Djafar, memaparkan peluang dan tantangan dari percepatan perumusan mekanisme perlindungan data pribadi dalam utilisasi big data pembangunan.

Teknologi informasi dan teknologi (TIK) menciptakan suatu mesin baru yang sering disebut sebagai big data dengan kemampuan yang luar biasa dan tidak terbayangkan oleh teknologi sebelumnya. Kemudian TIK mampu secara volume, velocity, dan valuenya bekerja dalam satu waktu, sehingga memungkinkan penopangan kebijakan prediktif, termasuk dalam pencapaian tujuan pembangunan.

Akan tetapi, kata dia, karena data yang dikumpulkan tentang manusia yang kemudian pada akhirnya digunakan untuk mengambil keputusan, maka harus berdasarkan hak asasi manusia (HAM).

"Dalam konteks itu, perlindungan data menjadi penting. Sehingga proses data ini tetap dalam kerangka ruang penghormatan HAM. Karena kalau tidak di kerangkakan, maka proses dan tujuan bisa dimungkinkan atau berisiko mengesampingkan HAM," kata Wahyudi dalam webinar berkonsep Ruang Bincang dengan tema “Pembangunan dan Utilisasi Data dalam Analisis dan Penyusunan Kebijakan”, Selasa (22/3/2022).

Sementara itu, peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIS), Edbert Gani Suryahudaya membahas mengenai pemanfaatan dan praktik baik big data media sosial dalam analisa kebijakan serta kondisi keterbukaan data saat ini dalam menunjang kegiatan riset berbasis kebijakan. 

Menurutnya, keterbukaan big data atau data publik menjadi persoalan menahun. Dia melihat, masalah supply dan demand. Jika data supply tersedia tetapi tidak dimanfaatkan, akan sangat percuma.

"Persoalan sisi lain dari sisi demand tidak banyak lembaga yang berusaha memanfaatkan dengan cukup baik. Itu harus dilakukan keseimbangan," kata Gani.

Lebih lanjut, peneliti Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina, Siti Nurhayati, menjelaskan bagaimana PUSAD Paramadina membangun pangkalan data yang berisikan profil Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan bagaimana pangkalan data tersebut diutilisasi sebagai instrumen pengelolaan konflik agama di masyarakat.  

"Data ini penting karena ini bisa mengelola konflik keagamaan. Kami ada dua ranah yaitu kebijakan publik dan penguatan kapasitas. FKUB ini adalah hal potensial dalam pengelolaan konflik dan kami mengadvokasi secara nasional, bertemu beberapa rekan, bekerjasama dengan pusat kerukunan umat beragama," kata Nurhayati.

Terkait pangkalan data, Guru Besar Filologi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus peneliti senior Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM UIN), Oman Fathurahman, memaparkan pangkalan data manuskrip untuk pelestarian kebudayaan beserta rekomendasi kebijakan bagi pemerintah untuk menginisiasi proses digitalisasi serupa bagi kekayaan intelektual bangsa.  

"Nah, jadi pangkalan data, bahwa kita masyarakat dan bangsa yang mewarisi sumber primer tertulis yang kaya. Jadi di PPIM Jakarta ini, melalui digital mengembangkan pangkalan data manuskrip digital yang open access," kata Oman.

Deputi II Bidang Pembangunan Manusia, Kantor Staf Presiden (KSP), Abetnego Tarigan menjelaskan, upaya yang sedang berjalan maupun diinisiasi oleh Pemerintah Indonesia dalam mendorong utilisasi big data yang efektif, kolaboratif, serta akuntabel. 

"Jadi selain soal keterbukaan data pemerintah, di sisi lain juga banyak data lain yang perlu dilindungi. Sangat valid apa yang disampaikan soal diperlukannya perlindungan data pribadi. Oleh karena itu, pengembangan menuju Satu Data harus memberikan rasa nyaman ke semua pihak," kata Abetnego.

Webinar yang diselenggarakan Knowledge Sector Initiative (KSI) ini merupakan Ruang Bincang kedua dari rangkaian Konferensi Knowledge-to-Policy (K2P) yang merupakan salah satu rangkaian kegiatan penutupan KSI untuk menampilkan produk pengetahuan dan pencapaian mitra KSI. Konferensi K2P menghadirkan sembilan sesi Ruang Bincang dan enam sesi Titik Temu dengan 86 pembicara dan penanggap.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement