REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah mengatakan, kekerasan berbasis gender terhadap perempuan di lembaga pendidikan paling banyak terjadi di perguruan tinggi. Kesimpulan itu berdasarkan catatan tahunan (Catahu) Komnas Perempuan selama 2015 hingga 2021.
"Bahwa kekerasan yang terjadi di perguruan tinggi itu yang paling dominan,” kata dia dalam konferensi pers Komnas Perempuan bertajuk "Penyikapan Komnas Perempuan Terkait Permohonan Judicial Review Permendikbudristek No.30/2021 terhadap Menteri Pendidikan Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia" via daring di Jakarta, Selasa (22/3/2022).
Posisi berikutnya secara berurutan, yakni pesantren dan SMA/SMK. “Itu catatan Komnas Perempuan itu sehingga menjadi sangat penting untuk memperhatikan persoalan-persoalan keamanan dan pengembangan potensi civitas akademika di kampus dengan baik," kata Alimatul.
Dari sejumlah bentuk kekerasan berbasis gender terhadap perempuan di lembaga pendidikan, kata dia, kekerasan seksual menempati urutan pertama, yakni 87,91 persen dengan korban pada umumnya merupakan perempuan peserta didik dan atau berusia anak yang memiliki kerentanan berlapis. Sementara, pelaku umumnya adalah laki-laki, guru, dosen, ustadz dan yang berusia dewasa.
Menurut dia, dampak pada korban kekerasan seksual diantaranya merasa tidak aman, merasa bersalah, tidak percaya diri, mendapatkan label negatif, kesulitan membangun hubungan sosial, merasa malu, merasa takut, merasa terisolasi, marah dan banyak trauma lainnya. Berdasarkan catatan tahunan Komnas Perempuan selama rentang 2012 hingga 2021, jumlah kasus kekerasan seksual yang dilaporkan kepada lembaga layanan maupun Komnas Perempuan hampir mencapai 50.000 kasus.
"Angka tersebut merupakan puncak gunung es dari kenyataan kekerasan seksual yang terjadi sebenarnya," katanya.