Oleh : Yudha Manggala Putra, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Bahasan soal transisi dari pandemi menjadi endemi mengemuka. Indonesia, melihat beberapa indikator, dikabarkan bersiap-bersiap melangkah ke arah sana. Kendati demikian, masyarakat diingatkan berhati-hati. Terutama dalam memandang status ‘endemi’.
Endemi, bila melihat definisinya, adalah penyakit yang berjangkit di suatu daerah atau pada suatu golongan masyarakat (KBBI). Endemi merujuk keadaan atau kemunculan suatu penyakit yang konstan di dalam suatu populasi atau area geografis tertentu (CDC).
Sementara pandemi adalah wabah yang berjangkit serempak di mana-mana. Ia adalah epidemi yang menyebar hampir di seluruh negara atau benua. Epidemi sendiri adalah penyakit menular yang berjangkit dengan cepat di daerah luas dan menimbulkan banyak korban.
Untuk sedikit memberikan gambaran ketiga level di atas, saya mencoba menempatkannya pada jejak penyebaran kasus Covid-19 sejak awal hingga sekarang.
SARS-CoV-2 mulai menjangkit di sejumlah kawasan di Cina pada Desember 2019. Statusnya menjadi epidemi merujuk pada cepatnya penyebaran dan memakan banyak korban di negara tersebut.
Saat virus menyebar ke luar wilayah, menyeberang ke berbagai penjuru dunia, WHO mendeklarasikan wabah Covid-19 sebagai pandemi pada Maret 2020.
Memasuki 2022, penyebaran dan jumlah pasien terinfeksi di beberapa negara dinilai cenderung stabil dan mulai terkendali. Faktor ini disebut-sebut mendorong pemerintah setempat merencanakan perubahan statusnya menjadi endemi.
Meski dapat dianggap sebagai kabar menggembirakan, para ilmuwan kesehatan mewanti-wanti soal ‘label’ endemi. Endemi, kata mereka, tidak berarti penyakit sudah tiada atau mati.
Ia masih hadir di tengah-tengah kita bersama dampak merugikannya. Termasuk merenggut jiwa.
Salah satu contoh penyakit endemi yang masih terus diwaspadai hingga saat ini adalah tuberkulosis (TBC). Badan kesehatan dunia WHO mencatat, penyakit disebabkan bakteri (Mycobacterium tuberculosis) ini menyebabkan kematian 1,5 juta orang pada 2020. WHO menyebutnya sebagai penyakit infeksius kedua (di bawah Covid) yang paling banyak menyebabkan kematian di dunia (di atas HIV/AIDS).
Selain TBC, malaria juga mungkin contoh lain penyakit endemi yang tak kalah bahaya. Penyakit demam akut disebabkan parasit yang ditransmisikan nyamuk ini menyebabkan 627.000 orang meninggal dunia pada 2020.
WHO mencatat, jumlah kematian tersebut mayoritas berasal dari wilayah Afrika. Indonesia termasuk negara yang masih berjuang mengatasinya. Menurut data Kementerian Kesehatan RI (www.malaria.id), kasus malaria di Tanah Air mencapai 94.610 orang pada 2021.
Dua contoh di atas setidaknya menegaskan penyakit endemi tidak lantas bisa dipandang remeh. Ia masih dapat mengancam kesehatan orang banyak, bahkan cukup mematikan.
Apakah Covid Sudah Bisa Digolongkan Endemi?
Covid-19 memang bakal menjadi endemi. Namun, ilmuwan belum bisa memastikan seberapa cepat ia bakal beralih dari status pandemi. Salah satu pertimbangan transisi ke endemi adalah kadar imunitas masyarakat dunia.
Penyebaran cepat varian omicron kerap disebut-sebut mempercepat perluasan imunitas tersebut. Saat bersamaan, gerakan vaksinasi juga mendukung pemerataanya.
Hasilnya, penyebaran diprediksi bakal terus melambat. Tingkat kasus Covid-19 akan menjadi lebih stabil.
Namun, untuk mencapai status endemi, masyarakat dunia juga dituntut kebal varian-varian baru. Melihat masifnya tingkat penyebaran, mutasi diperkirakan masih terus terjadi.
Jika varian baru mampu menghindari imunitas alami maupun vaksin, tingkat infeksi dapat meroket kembali. Bila ini terjadi, coronavirus bisa kembali menjadi epidemi dan berstatus pandemi.
Sebab itu, meski sejumlah negara Eropa mulai meniadakan pengetatan protokol Covid-19 dan mensinyalkan bersiap ke arah endemi, sejumlah ilmuwan belum mau mengamininya terlalu dini.
Faktor lain suatu penyakit dapat dianggap endemi ketika ia lebih mudah diprediksi. Para ahli pada tahap ini sudah bisa memperkirakan jumlah kasus positif dan kematian yang muncul. Baik dari segi lokasi maupun waktu tertentu dalam periode satu tahun.
Bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia dipastikan masih dalam kondisi pandemi Covid-19. Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan dr. Siti Nadia Tarmizi mengatakan, pemerintah tidak akan terburu-buru menyatakan transisi memasuki endemi. Sebab proses transisi menuju endemi bukan berarti kasus Covid-19 tidak ada sama sekali.
Menurutnya, untuk menghilangkan sebuah penyakit, membutuhkan waktu lebih panjang. Skenario terlogis sejauh ini, kita mungkin harus bersiap untuk terus berdampingan dengan Covid-19. Transisi endemi menurutnya suatu proses yang disertai sejumlah indikator dalam periode tertentu.
Di antaranya angka positivity rate harus kurang dari 5 persen, kemudian tingkat perawatan rumah sakit harus kurang dari 5 persen. Selain itu, angka fatality rate juga harus kurang dari 3 persen dan level PPKM berada pada transmisi lokal level tingkat 1.
Kondisi-kondisi ini harus terjadi dalam rentang waktu tertentu, misalnya 6 bulan. Indikator maupun waktu untuk menuju endemi sejauh ini memang belum fix betul. Pemerintah masih terus membahsanya bersama dengan para ahli.
“Yang paling penting pada saat endemi, walaupun kasusnya ada, dia tidak akan mengganggu kehidupan kita seperti saat ini di mana hampir aktivitas-aktivitas kehidupan kita, kehidupan sosial, kehidupan beragama, pariwisata ini tidak terganggu dengan adanya kasus Covid-19,” ucap dr. Nadia. (sehatnegeriku.kemkes.go.id, 15 Maret 2022).
Saat ini Indonesia, kata dia, sudah dalam proses transisi menuju endemi. Pelonggaran-pelonggaran sudah dilakukan. Di antaranya menurunkan level PPKM menjadi level 2. Lalu menghapuskan antigen dan PCR sebagai syarat melakukan perjalanan domestik menggunakan transportasi laut, darat, maupun udara bagi masyarakat yang sudah vaksin hingga dosis ke-2.
Pemerintah juga menurunkan jangka waktu karantina bagi masyarakat melakukan perjalanan luar negeri. Dari yang sebelumnya karantina 14 hari menjadi 7 hari, kemudian 3 hari, hingga saat ini menjadi 1 hari.
Bagaimana Saat Endemi?
Seperti sudah disinggung beberapa kali, status endemi bukan berarti Covid-19 hilang sama sekali. Virusnya masih akan berkeliaran di sekitar kita. Mungkin dalam waktu lama, atau bahkan selamanya. Status endemi juga tidak lantas meniadakan dampak berbahaya yang dimiliki. Ia masih bisa berakibat fatal.
Sebab itu, kalaupun status berubah endemi, pakar mengingatkan kita agar tetap menerapkan protokol kesehatan baik. Salah satunya mengenakan masker di tempat-tempat publik, dalam ruangan, dan kantor.
Bila kesadaran itu bisa dijalankan bersama, ditambah dengan tingkat vaksinasi tinggi, dan pengembangan perawatan ke lebih baik, Covid-19 berpotensi menjadi penyakit yang bisa lebih diprediksi hingga dikendalikan. Sama halnya dengan penyakit musiman lain, misalnya flu pada saat ini.
Imunitas, baik alami maupun lewat vaksinasi, juga diharapkan dapat memperlambat transmisi virus dan meredakan kasus Covid-19. Ini bisa membantu mengurangi beban rumah sakit, mengurangi efek parah, hingga menghindari kematian.
Namun, patut diingat, transisi dari pandemi ke endemi butuh proses bertahap. Ia tidak terjadi dalam semalam. Masyarakat hingga ahli medis harus tetap waspada.
Mutasi pun masih bisa menunda transisi tersebut. Jika varian baru merebak, seperti halnya Omicron pada akhir 2021, negara perlu kembali menerapkan kebijakan efektif untuk memperlambat transmisi dan penyebaran virus.
Saat ini, vaksinasi memang masih menjadi salah satu ikhtiar mengakhiri pandemi. Sekaligus memuluskan transisi ke arah endemi. Patut diingat, SARS-CoV-2 kemungkinan tidak akan hilang sama sekali. Kita mungkin dituntut untuk terus hidup berdampingan dengannya.
Kuncinya sejauh ini adalah terus menjaga kewaspadaan dan upaya melakukan langkah pencegahan. Dengan itu, harapannya kita bisa menjalani kehidupan normal baru pascapandemi nanti dengan lebih tenang, nyaman, dan hati-hati.