Oleh : Friska Yolandha, Redaktur Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Invasi Rusia ke Ukraina telah memberikan dampak terhadap berbagai sektor. Sanksi yang diberikan Barat untuk Rusia menyebabkan efek negatif terhadap perekonomian global.
Serangan Rusia pada 24 Februari ke Ukraina telah menimbulkan banyak sanksi untuk Rusia, mulai dari pembekuan aset hingga penutupan perusahaan yang beroperasi di negara tersebut.
Pada Selasa (8/3/2022), Amerika Serikat (AS) menjatuhkan sanksi terhadap sektor minyak dan gas (migas) Rusia. Presiden AS Joe Biden mengumumkan bahwa negaranya melarang semua impor minyak, gas alam, dan energi dari Rusia. Biden menggambarkan langkah itu sebagai upaya 'menargetkan arteri utama ekonomi Rusia'.
Pengumuman itu berdampak pada terguncangnya harga minyak dunia yang sudah cukup tinggi bahkan sebelum jatuhnya sanksi dari AS.
Sebelum rencana itu diumumkan, harga minyak mentah Brent menyentuh harga 139,12 dolar AS per barel, sedikit lagi mendekati harga tertingginya pada 2008. Sementara, West Texas Intermediate ditutup di harga 130,50 dolar AS.
Harga minyak telah melonjak lebih dari 30 persen sejak Rusia menginvasi Ukraina. Ini karena Rusia merupakan salah satu produsen minyak mentah dunia.
Berdasarkan data dari British Petroleum (BP) Statistical Review of World Energy 2021, Rusia memproduksi 10,667 juta barel per hari atau setara 12,6 persen produksi global. Jumlah ini tak jauh di bawah Amerika Serikat (16,476 juta barel per hari) dan di atas produksi Arab Saudi yang sebesar11,039 juta barel per hari.
AS mungkin cukup pede memblokir minyak dari Rusia karena mereka hanya sedikit mengimpor. Namun, sejumlah negara sangat bergantung pada minyak dan gas (migas) Rusia.
Negara Uni Eropa adalah importir migas Rusia. Sekitar 40 persen dari total konsumsi gas Eropa dipasok oleh Rusia. Jerman, misalnya, mengimpor 55 persen gas alam, 35 persen minyak bumi, dan 50 persen batu bara dari Rusia.
Inilah salah satu alasan banyak negara Uni Eropa yang masih setengah hati mengikuti jejak AS untuk melakukan embargo terhadap sektor energi Rusia. Karena mereka masih butuh.
Anggota Uni Eropa akhirnya satu per satu mencari kerja sama dengan negara Timur Tengah terkait pasokan migas. Jerman segera menjajaki kerja sama dengan Qatar dan Uni Emirat Arab (UEA). Inggris juga berupaya mengamankan minyak di UEA dan Arab Saudi, meskipun gagal.
Di sisi lain, Rusia yang kesulitan menyalurkan migasnya melakukan serangan balasan. Presiden Vladimir Putin mengumumkan Rusia hanya akan terima pembayaran gas dengan rubel tidak dengan euro atau dolar AS.
Baca juga : Netralitas Hungaria dalam Konflik Rusia-Ukraina Tuai Kritik
Keputusan Rusia tersebut mengincar negara-negara Eropa "yang tidak bersahabat" karena sanksi-sanksi mereka. Ini juga dilakukan untuk mencegah ekonomi Rusia terpuruk akibat sanksi Barat.
Di sisi lain, Rusia memberikan keringanan terhadap Turki dan China. Keduanya diizinkan melakukan pembayaran migas dengan mata uang lokal.
Ini tentu merugikan negara-negara Eropa yang masih sangat bergantung pada Rusia. Jelang jatuh tempo pembayaran gas Rusia, negara Uni Eropa memprotes kebijakan baru itu.
Baca juga : Eropa Hendak Embargo Minyak dan Gas Rusia, Yakin?
Polandia menolak keras pembayaran dengan rubel. Sementara, Menteri Ekonomi Jerman masih mendiskusikan sikap negara tersebut terkait keputusan Rusia. Austria menyatakan kontrak yang ditandatangani bersama tidak mengizinkan pembayaran dengan rubel.
Bagaimana nasib minyak dan gas Rusia? Apakah akan dialihkan ke negara lain?
Bagaimana nasib Uni Eropa yang masih bergantung pada Rusia? Akankan AS berbaik hati menjual gas mereka ke Benua Biru? Dan, apakah Rusia dapat bertahan dengan sankai-sanksi Barat? Sampai kapan?