Oleh : Iwan Awaluddin Yusuf, PhD*
REPUBLIKA.CO.ID, Media adalah sumber utama publik memperoleh informasi di tengah pandemi, baik informasi yang berasal dari media arus utama (mainstream),media sosial, maupun publikasi berbasis akademik seperti jurnal dan penelitian ilmiah. Fakta global saat ini menunjukkan bahwa masyarakat lebih sering menggunakan media sosial dibandingkan media lainnya untuk memenuhi kebutuhan informasi sehari-hari.
Tingginya penggunaan media digital juga menjawab perubahan kebiasaan bermedia masyarakat yang semula untuk memperoleh informasi, kini sekaligus untuk berbagai informasi. Karakteristik media digital memungkinkan proses pertukaran informasi tersebut lebih cepat dan mudah. Terkoneksi dengan aplikasi media sosial, masyarakat tidak hanya pasif menjadi konsumen informasi, kini sekaligus berperan sebagai prosumen, yakni produsen sekaligus konsumen informasi.
Dengan fitur-fitur terbaru yang disediakan media sosial yang semakin kompatibel dengan perangkat digital terbaru, masyakarat semakin giat memproduksi sendiri pesan dan membagikannya kepada orang lain dengan cara share, forward, upload, tweet-retweet, post-repost, dan sebagainya.
Pada akhirnya, masyarakat dunia yang menggunakan tekologi informasi berhadapan dengan kehadiran beragam informasi yang sangat berlimpah dengan, meskipun tidak selalu diperlukan. Keberlimpahan informasi juga banyak diwarnai dengan terjadinya distorsi, misinformasi, dan disinformasi. Dalam situasi pandemi Covid-19, berbagai informasi yang bertebaran menyaru sebagai hoaks sehingga sulit dibedakan apakah informasi tersebut adalah nyata (real facts), pengetahuan semu (pseudo science), atau hanya berupa teori konspirasi (conspiracy theory).
Kondisi seperti ini melahirkan fenomena infodemik (infodemics), yakni melimpah ruahnya beragam informasi di masa pandemi. Banjir informasi—baik akurat maupun hoaks—membuat masyarakat menjadi kesulitan untuk menemukan sumber panduan yang dapat dipercaya ketika dibutuhkan.
Literasi informasi
Infodemik terjadi karena berbagai penyebab. Faktor utama karena rendahnya literasi. Selain itu, disinformasi dapat terjadi karena beragam faktor seperti bias informasi dalam ruang gema (echo chamber), adanya kesengajaan menyebar informasi palsu, adanya kepentingan tertentu, kebiasaan malas membaca, motivasi mencari sensasi, kebiasaan hanya mengikuti tren, terlalu mudah percaya, kemalasan dalam melakukan cek fakta, serta perasaan bangga menjadi yang pertama atau tercepat.
Pandemi adalah momentum yang tepat bagi masyarakat untuk meningkatkan literasi, baik literasi informasi, literasi media dan literasi digital yang semuanya berkaitan dengan pengetahuan dan sikap dalam mengakses dan menyebarkan informasi. Gencarnya terpaan informasi yang tersebar melalui teknologi dan media digital namun tidak diimbangi dengan kecakapan pengaksesnya bisa memberi dampak buruk yang tidak diinginkan. Untuk itu literasi informasi sangat diperlukan.
Literasi informasi adalah serangkaian pengetahuan dan kemampuan yang dibutuhkan seseorang untuk menyadari kapan informasi dibutuhkan serta kemampuan untuk menempatkan, mengevaluasi, dan menggunakan informasi yang dibutuhkan secara efektif. Pengguna teknologi yang memiliki kecakapan literasi informasi akan memiliki kesadaran, kendali, dan batasan yang jelas dalam menggunakan media dan teknologi. Ini sejalan dengan konsep literasi media yang berperan penting dalam berinteraksi dengan media secara proporsional, termasuk dalam penggunaan media sosial.
Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) merumuskan seperangkat keterampilan literasi informasi terkait dengan pemahaman dan kemampuan seseorang dalam mengakses, menyeleksi, memahami, menganalisis, memverifikasi, mengevaluasi, mendistribusikan, memproduksi, berpartisipasi, dan berkolaborasi dalam mencerdaskan masyarakat melalui kegiatan literasi.
Dengan literasi informasi, pengetahuan dan kemampuan untuk verifikasi atau menyanggah (debunking) menjadi kata kunci saat menghadapi disinformasi. Berbagai teknik tersebut antara lain penyanggahan berbasis fakta (fact-based debunking), penyanggahan berbasis logika (logic-based debunking), penyanggahan berbasis kredibilitas sumber informasi (source-based debunking), dan penyanggahan berbasis empati (empathy-based debunking). Terdapat beberapa tautan dan sumber terpercaya sebagai rujukan dalam mengecek atau memverifikasi fakta, misalnya cek fakta, hoax buster, snopes, Truth Or Fiction, Break the Chain, dan sebagainya.
Sedangkan ciri-ciri orang yang telah memiliki literasi media antara lain terinformasi secara baik mengenai liputan isu media; memahami kontak keseharian dirinya dengan media dan pengaruh media pada gaya hidup, sikap dan nilai; terbiasa melakukan telaah sumber informasi; terbiasa melakukan konfirmasi kepada pihak yang kompeten; terbiasa berpikir mandiri dalam menentukan opini; memiliki kemampuan mengembangkan sensitivitas terhadap kecenderungan pesan media; kemampuan mempertimbangkan peran media dalam pengambilan keputusan; serta memiliki kesadaran bahwa tidak semua hal perlu diakses, disimpan, dan dibagikan.
Saring sebelum sharing
Tujuan awal berbagai informasi sebenarnya tidak buruk sebagaimana makna yang terkandung dalam ungkapan “sharing is caring”. Namun banyak ragam informasi yang sebenarnya cukup diterima dan berhenti pada diri penerimanya, tidak perlu langsung membagikannya ke orang lain, apalagi jika orang tersebut tidak memiliki kompetensi atau belum melakukan verifikasi atas kesahihan informasi tersebut.
Di tengah pandemi, ungkapan “saring sebelum sharing” tampaknya lebih relevan dijadikan pegangan. Paling tidak, dengan sedikit bersabar, tidak terburu-buru langsung membagikan informasi yang diterima, postingan berkategori disinformasi maupun misinformasi tidak akan semakin menyebar luas ke dalam grup-grup percakapan online hingga pada unit-unit terkecil kelompok masyarakat seperti lingkungan kerja, kelompok pertemanan, atau keluarga. Di tengah kerberlimpahan informasi, sangat penting bagi masyarakat untuk meningkatkan literasi informasi sehingga dapat memanfaatkan informasi secara sehat dan proporsional.
*Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, Universitas Islam Indonesia