REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Niken Ariati, Plt Direktur Sosialisasi dan Kampanye Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia
Pada awal 1900-an Ricciotto Canudo, teoritikus seni dan penyair kelahiran Italia, memasukkan film sebagai karya seni ketujuh. Walau di urutan bawah, namun Canudo menganggap film sebagai paket seni yang lengkap. Dalam film, termuat berbagai jenis seni lainnya yaitu lukisan, musik, arsitektur, puisi, pahatan, dan tarian.
Teknologi perekaman gambar masih sangat baru saat itu. Filmnya juga masih hitam putih "berpasir" dan bisu. Tapi itu sudah membuat Canudo terpukau. Saya rasa jika masih hidup sekarang, Canudo pasti akan tercengang melihat kemajuan industri perfilman saat ini.
Film-film sudah seperti prasmanan. Berbagai judul tersaji lengkap di meja, tinggal dipilih sesuai selera. Film mudah dinikmati dan kita juga gampang larut di dalamnya. Sedih, tertawa, atau takut bisa tercipta karena film. Seseorang bisa menemukan dunianya sendiri dalam film, ada rasa nyaman. Film menjadi eskapisme dari padatnya jadwal sekolah, sibuknya pekerjaan kita, atau penatnya bertahan dari pandemi covid yang mendera 2 tahun terakhir ini.
Harus kita akui juga, film ibarat dua sisi mata uang. Bisa berdampak positif dan negatif. Film bisa memberikan edukasi kepada kita. Melalui film kita bisa menjelajahi tempat-tempat nun jauh, mencermati kebudayaan yang luar biasa, atau memahami nilai-nilai kearifan di daerah lain. Film menimbulkan rasa pemahaman akan perbedaan, memunculkan empati dan toleransi bahwa tidak semua orang sama. Film jugalah yang mendorong imajinasi dan kreativitas. Melalui film, impian dan cita-cita seseorang bisa muncul. Film tentang kemegahan negara-negara di dunia misalnya, seseorang akan bekerja keras untuk bisa menuju ke sana.
Namun jangan dilupakan, dengan daya pengaruhnya yang intrusif, film bisa mempengaruhi perilaku, apalagi terhadap anak-anak dan pemuda yang masih labil dan mencari jati diri. Apapun, memang itu salah satu tujuan dari film, memberi pengaruh, entah baik atau buruk.
Banyak film yang memang sengaja dibuat untuk memicu kebencian. Pada 2008 kita ingat, anggota parlemen Belanda Geert Wilders membuat film berjudul "Fitna" yang berisikan narasi buruk tentang Islam. Fitna hanya berdurasi 17 menit, para kritikus seni mengatakan sinematografi film itu sampah, sama buruknya dengan nistaan di dalamnya. Walau berdurasi singkat, namun Fitna berhasil memicu gelombang kemarahan di seluruh dunia. Sejatinya film ini memang dibuat untuk itu, memancing murka.
Film juga dipakai untuk menyebar propaganda dan membentuk opini, banyak dipakai oleh pemimpin diktator di masa lalu. Sebut saja film "Triumph of the Will" besutan Nazi di masa Perang Dunia II. Nazi ingin memanipulasi pikiran lewat film tersebut, menyampaikan pesan soal kedigdayaan utopis a la Adolf Hitler.
Harus diakui kita juga pernah punya film propaganda. Di masa Orde Baru, setiap tahunnya kita wajib memutar film "Pengkhianatan G30S/PKI". Film yang sarat kekerasan itu berhenti diputar pada 1998 setelah banyak pihak menganggapnya bentuk propaganda pemerintah. Terlepas dari bahaya paham Komunis, banyak pihak meragukan kebenaran fakta sejarah yang disajikan dalam film tersebut.
Di masa sekarang, banyak film yang punya dampak merusak generasi muda. Rumah-rumah produksi yang hanya mencari keuntungan menjual tayangan-tayangan erotisme dan kekerasan. Kata-kata kasar dan pergaulan bebas yang jauh dari nilai ketimuran dipamerkan tanpa malu-malu pada layar-layar kaca. Cara untuk mengaksesnya juga luar biasa mudah.
Belum lagi layanan streaming berbayar dari luar negeri yang agresif bermunculan bak cendawan di musim hujan. Belum ada peraturan perundang-undangan untuk mengatur tayangan di layanan itu. Tidak heran jika mereka tidak pernah kena gunting sensor, bebas merdeka memperlihatkan tayangan cabul, vulgar, dan destruktif.
Jika memberi efek buruk, apakah film itu masih bisa disebut karya seni seperti yang dimaksud Canudo? Padahal Bapak Pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara mengatakan, seni adalah perbuatan manusia yang timbul dari keindahan, hingga dapat menggerakkan jiwa dan perasaan orang lain.
Dengan kata lain, seni berasal dari jiwa yang indah, menghasilkan keindahan, dan menggerakkan tindakan yang indah pula. Jika film berdampak merusak, rasanya tidak layak disebut sebagai karya seni.
KPK menyadari pengaruh yang bisa dihasilkan oleh film dan memilih menjadikannya sebagai pembawa pesan kebenaran. Setiap tahunnya, sejak 2013, KPK menggelar Anti Corruption Film Festival (ACFFest), sebuah festival film pendek yang mengangkat tema antikorupsi. Dalam strategi trisula pemberantasan korupsi, media film ini menjadi runcing pada sula pencegahan dan pendidikan.
Hati saya menjadi hangat ketika mengetahui ACFFest disambut antusias oleh para sineas Tanah Air. Artinya, masih ada harapan untuk memberikan pendidikan yang baik melalui film. Masih ada para sineas yang peduli dan ambil peran dalam membawa kebaikan di negara ini, tidak soal keuntungan belaka.
Melalui film di ACFFest, masyarakat diingatkan soal nilai-nilai integritas dengan cara yang unik. Salah satu yang membuat saya tersentil adalah film "Rapor" yang sarat pesan moral. Dikisahkan, siswa SD bernama Arman mencoba menyogok gurunya agar rapornya yang ada nilai merah diterima. Arman ternyata meniru ayahnya, seorang Kepala Desa, yang menerima suap agar sebuah proyek dilancarkan.
Film Rapor membuat perasaan saya campur aduk, antara tertawa geli sekaligus miris. Ngilu rasanya dada ini, karena yang tergambar di film itu adalah realita. Betapa suap telah menjadi kebiasaan buruk, momok negara ini.
Pesan lainnya, seorang anak hanya meniru apa yang dilihatnya. Jika yang dilihatnya buruk, maka pengaruhnya akan buruk juga. Namun jika yang digugu dan ditiru itu baik, maka sanubari anak yang masih jernih akan menyerapnya menjadi sikap moral yang lurus.
Kita memang belum bisa mengadang serbuan tayangan luar negeri yang kurang sesuai dengan budaya Indonesia. Kita juga kesulitan menyensor hal-hal buruk di internet. Tapi sebenarnya seorang anak punya sensor moral di rumahnya masing-masing, yaitu orang tua.
Jika orang tua dapat memberikan teladan dan contoh yang baik, maka anak yang berintegritas akan terlahir. Jangan sampai, rumah menjadi pencipta koruptor. Jangan sampai muncul Arman-Arman lain yang menyuap gurunya. Dalam berbagai kajian disebutkan, salah satu faktor internal penyebab korupsi adalah aspek sosial, salah satunya lingkungan keluarga.
Selain memberi contoh dengan sikap dan perkataan, orang tua bisa memberikan tontonan-tontonan yang baik pada anak. Karena tidak semua yang disajikan di televisi aman jadi tontonan. Mari kita pilih tontonan yang bisa menjadi tuntunan.
Rindu tentunya kita dengan tontonan yang bermutu. Yang pesannya terpatri lama. Seperti halnya saya mengingat pesan Nagabonar kepada sahabatnya si Bujang dalam Film Nagabonar. “Apalah artinya Pangkat dalam perjuangan Bujang, yang penting keberanian bertempur”. Pesan ini menyemangati saya pribadi untuk berani berjuang membangun Indonesia bebas dari Korupsi dalam apapun peran yang saya miliki. Saya yakini kita semua punya pesan moral yang didapati dari film kesukaan kita.
Selamat Hari Film Nasional, semoga dunia perfilman Indonesia semakin dapat menyajikan tayangan yang berkualitas dan mendidik. Demi masa depan bangsa dan negara yang lebih baik. Biasakan yang Benar, Jangan Benarkan yang Biasa. Lawan Korupsi #BerawalDariKita. Penasaran dengan Film-film antikorupsi yang bisa ditonton? Silakan klik Youtube ACLC KPK.