REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Keberadaan radio komunitas dengan interaksi dialogisnya mencerminkan dan menimbulkan rasa kesetaraan, sederajat, merdeka sehingga mampu melawan budaya diam dengan tindakan nyata.
Dengan adanya partisipasi maka khalayak komunitas menyadari pentingnya untuk bersuara dalam mengambil keputusan demi memperbaiki hidup yang lebih baik.
Hal ini menjadi salah satu kesimpulan yang disampaikan pada riset disertasi Diana Anggraeni dari Program Studi Doktor Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan IPB University. Riset dilakukan di Radio Komunitas Seni Budaya (RKSB) Ujungberung, Kabupaten Bandung, dan kegiatan pelestarian lingkungan (susur sungai) di lokasi Radio Komunitas Dapur Remaja (RKDR), Sawangan, Depok.
“Radio komunitas merupakan media warga yang memiliki ciri dari, untuk dan oleh komunitas. Sehingga tujuannya sangat jelas yaitu memenuhi kebutuhan komunitas. Keutamaan radio komunitas (rakom) adalah adanya partisipasi dan mengangkat kearifan lokal,” katanya dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (1/4).
Diana menjelaskan dalam paradigma pembangunan yang bottom up, maka keterlibatan masyarakat menjadi kebutuhan sangat penting. Dalam hal ini, kata dia, partisipasi membutuhkan kesadaran.
“Sayangnya beberapa kajian tentang radio komunitas ini justru menemukan rendahnya partisipasi. Salah satu faktor penyebab adalah tekanan struktur dan sistem,” tutur dosen dari Universitas Pancasila ini.
Diana mengatakan karakteristik rakom berbeda dari radio komersil. Perbedaan itu terlihat pada daya jangkau, tayangan iklan yang terbatas serta kendala sumber daya manusia di mana rata-rata penyiar maupun manajemen merupakan individu yang tidak mempunyai latar belakang jurnalistik.
Diana juga menegaskan di tengah maraknya media digital, keberadaan radio komunitas ini ternyata masih sangat relevan dengan karakteristik yang dimilikinya. Rakom di wilayah perkotaan, kata dia, menjadi wadah melakukan komunikasi dan interaksi dialogis untuk melakukan kegiatan seperti pentas seni budaya dan kegiatan pelestarian lingkungan.
“Rakom menjadi tempat berkumpul dan berkegiatan di tengah minimnya fasilitas umum yang sudah banyak berganti menjadi berbagai pembangunan seperti perumahan dan tempat hiburan,” ujarnya.
Berdasarkan hasil riset disertasi ini, Diana menyarankan Kementerian Informasi dan Komunikasi untuk mempertimbangkan kembali regulasi penyiaran komunitas yang lebih berpihak kepada media komunitas.
“Dalam pengelolaan radio komunitas dapat diatasi karena beberapa pasal dalam aturan yang ada membatasi gerak rakom dalam mengembangkan eksistensi rakom dan mempertahankan kesadaran kritis khalayaknya,” katanya.